Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
sebanyak 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer,
dengan wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi atau lebih dari 70
persen luas seluruh wilayah Indonesia. Permasalahan bangsa dewasa ini
semakin kompleks, tak terkecuali permasalahan mengenai pangan khususnya
hasil laut. Masalah ini bukan hanya masalah yang dihadapi oleh Indonesia
semata, melainkan semua negara merasakan hal yang sama. Seperti yang
kita pahami bahwa sumber daya alam terbagi atas dua jenis yaitu sumber
daya alam terbarukan dan tidak terbarukan, namun menurut saya jika
selama pemenuhan kebutuhan manusia tidak memperhitungkan aspek
berkelanjutannya, maka sumber daya alam terbarukanpun akan punah, apa
lagi yang tidak terbarukan. Saya berani mengatakan demikian dengan
asumsi bahwa bumi saat ini sudah semakin tua, lapisan ozon menipis,
musim sudah tidak menentu, bencana alam terjadi dimana-mana, lahan
pertanian dialih fungsikan, hutan dijadikan lahan perkebunan, limbah
industry mencemari lautan, maka besar kemungkinan terjadinya kiamat.
Indonesia
sebagai negara maritim dengan kekayaan laut yang luar biasa justru
masih mengimpor ikan dari negara lain. Bahkan, kontribusi kelautan
Indonesia dari sektor perikanan hanya 3,5 persen dari Produk Domestik
Bruto (PDB), sedangkan China, Korea dan Jepang dengan luas laut setengah
dari luas laut Indonesia mampu memberikan kontribusi sektor perikanan
sebesar 35 persen dari PDB. Namun lucunya saat ini kita bisa melihat
dimana-mana terjadi eksploitasi secara besar-besaran. Tidak terlepas
juga aspek perikanan di Indonesia menjadi sasaran empuk sebagai lahan
eksploitasi tanpa adanya yang namanya konservasi. Karena beinvestasi
diwilayah perikanan sangat menjanjikan. Teknologi dibidang perikanan
yang semakin berkembang menjadikan penangkapan ikan semakin mudah. Hal
ini semua dilakukan dengan alih menambah lapangan kerja,
mensejahterahkan masyarakat, menambah devisa negara. Jadi seharusnya
Indonesia mengalam swasembada pangan khususnya dibidang perikanan, namun
fakta menunjukkan hal yang jauh berbeda dengan yang seharusnya
dikarenakan hasil ekploitasi tersebut tidak diberikan kepada masyarakat
kita melainkan diberikan kepada orang-orang serakah.
Pemerintah
tidak pernah memperhatikan persoalan dan tantangan bangsa ini, yang
mereka pikirkan hanyalah perekonomian Negara. Namun pernahkah kita
sadari bahwa jika perekonomian masyarakat kita stabil akan stabil pula
perekonomian bangsa ini, dan saya melihat bahwa masyarakat kita tidak
membutuhkan gedung tinggi untuk tempat kerjanya, rumah mewah untuk
tempat tinggalnya, kapal besar untuk menangkap ikan, alat berat untuk
mengolah lahan pertaniannya, yang mereka butuhkan hanyalah kesejahteraan
lahir dan batin. Budaya asli masyarakat kita tidak pernah menginginkan
harta yang melimpah, karakter masyarakat kita bukan keserakahan tapi
kesederhanaan. Masyarakat kita tidak membutuhkan semua itu. Jadi
pertanyaan selanjutnya untuk apa semua semua pasilitas mewah itu
dibangun? Saya bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya semua ini dibangun
untuk orang-orang serakah yang ingin merebut semuanya dari masyarakat
kita.
Saya
melihat sisi lain dari hal tersebut, justru kehadiran kesemuanya itu
mendiskreditkan posisi masyarakat sipil khususnya nelayan. Dengan adanya
teknologi dibidang perikanan membuat pengurangan pekerja karena
posisinya sudah tergantikan oleh mesin, jadi bukan menambah lapangan
pekerjaan malah membunuh para nelayan. Data Badan Pusat Statistik
mencatat bahwa jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011
mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin
nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Sungguh memprihatinkan fakta
tersebut yang berbanding terbalik dengan kekayaan laut di negeri
tercinta dan kebanggaan bangsa Indonesia yang menganggap nenek moyangnya
seorang pelaut terkesan hanya legenda mitos dan menjadi kenangan
belaka. Kemiskinan yang membelenggu nelayan di negara maritim ini sudah
berlangsung lintas generasi dan seakan tidak pernah berhenti seiring
dengan perkembangan zaman, bahkan pendapatan nelayan Indonesia berada di
bawah standar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia yakni sebesar
Rp520 ribu per bulan.
Sementara
itu persediaan ikan dilaut lepas semakin berkurang melihat kondisi
eploitasi kelautan terjadi dimana-mana, tak terkecuali di Indonesia.
Menurut United Nation for Food and Agriculture saat ini kondisi
persediaan ikan setengahnya telah sepenuhnya dieksploitasi, seperempat
bagiannya telah dieksploitasi secara berlebihan, dan yang tersisa hanya
seperempat bagian, dan wilayah tersebut terdapat diwilayah lepas pantai
aceh. Sedangkan fakta lain dari Data hasil survey menunjukkan bahwa Aceh
dulunya memiliki 15 jenis ikan dominan, pada 1998 menurun menjadi 13,
kemudian terus menurun menjadi 9 jenis. Jika hal ini terus dibiarkan
dimasa yang akan datang anak atau cucu kita tidak lagi akan merasakan
nikmatnya ikan bakar, karena ulah kita semua. Yang menjadi penyebab
utama dari musibah ini karena kita melupakan kearifan local masyarakat
kita yang sangat menghormati alam dan tunduk pada hukum-hukumnya,
berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang yang justru melawan
hukum-hukum alam.
Di
Indonesia banyak sekali tradisi-tradisi yang dilakukan dalam proses
penangkapan ikan yang mulai tergusur oleh zaman yang sebenarnya jika
dikaji secara pilosofis, tradisi tersebut sangat mengedepankan aspek
perikanan berkelanjutan. Contoh yang bisa saya angkat, mitos tentang
menemukan ikan hiu pada saat berlayar itu masyarakat menganggap bahwa
pada hari itu mereka sial dan harus kembali kedaratan, percuma
diteruskan pelayaran karena mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Mitos
lain misalnya hari-hari tertentu tidak diperbolehkan turun berlayar,
dilarang menangkap penyu, hanya hasil tangkapan dengan ukuran tertentu
yang bisa dibawa pulang, tidak boleh menangkap ikan yang dalam keadaan
hamil. Mitos- mitos seperti diatas jika dikaji lebih jauh, memang sangat
mendukung keberlanjutan sumber daya alam kita khususnya perikanan.
Hal
seperti ini sering terabaikan oleh kita semua, karena kita menganggap
bahwa mempercayai mitos itu kuper alias tidak gaul, ketinggalan zaman
atau apalah. Tapi sebenarnya makna tersirat dari mitos diatas memiliki
arti penting. Sampai saat ini saya masih merasa optimis bahwa Indonesia
masih bisa diselamatkan, dan satu-satunya jalan yaitu memberdayakan
kearifan local dan budaya, mulai saat ini kita harus mulai mengenal jati
diri kita sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki budaya
sendiri, bukan budaya impor, bangsa yang pernah Berjaya dimasa lalu.
Kita sudah sama-sama tahu bahwa Indonesia merupakan Negara Maritim.
Indonesia
dikenal bukan karena pelautnya namun karena hasil lautnya yang
melimpah. jadi buatlah Indonesia menjadi Negara bukan hanya julukannya
saja sebagai Negara maritim tetapi Negara maritim itu terimplementasikan
kedalam roh Indonesia dengan menjadikan Negara pemasok hasil laut yang
terkemuka dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutannya, jadi kita
tidak hanya mampu mendongengkan anak cucu kita tentang kejayaan masa
lalu namun mereka merasakan efeknya secara riil. Caranya kembalikan
budaya asli kita, budaya maritim. Jepang bisa maju karena masyarakatnya
sadar akan budaya mereka, dan tidak melupakannya.
Paisal (10 Desember 2013)
0 comments:
Post a Comment