Wednesday, January 22, 2014

1:05 AM
OLYMPUS DIGITAL CAMERAIndonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki sebanyak 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, dengan wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi atau lebih dari 70 persen luas seluruh wilayah Indonesia. Permasalahan bangsa dewasa ini semakin kompleks, tak terkecuali permasalahan mengenai pangan khususnya hasil laut. Masalah ini bukan hanya masalah yang dihadapi oleh Indonesia semata, melainkan semua negara merasakan hal yang sama. Seperti yang kita pahami bahwa sumber daya alam terbagi atas dua jenis yaitu sumber daya alam terbarukan dan tidak terbarukan, namun menurut saya jika selama pemenuhan kebutuhan manusia tidak memperhitungkan aspek berkelanjutannya, maka sumber daya alam terbarukanpun akan punah, apa lagi yang tidak terbarukan. Saya berani mengatakan demikian dengan asumsi bahwa bumi saat ini sudah semakin tua, lapisan ozon menipis, musim sudah tidak menentu, bencana alam terjadi dimana-mana, lahan pertanian dialih fungsikan, hutan dijadikan lahan perkebunan, limbah industry mencemari lautan, maka besar kemungkinan terjadinya kiamat.

Indonesia sebagai negara maritim dengan kekayaan laut yang luar biasa justru masih mengimpor ikan dari negara lain. Bahkan, kontribusi kelautan Indonesia dari sektor perikanan hanya 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan China, Korea dan Jepang dengan luas laut setengah dari luas laut Indonesia mampu memberikan kontribusi sektor perikanan sebesar 35 persen dari PDB. Namun lucunya saat ini kita bisa melihat dimana-mana terjadi eksploitasi secara besar-besaran. Tidak terlepas juga aspek perikanan di Indonesia menjadi sasaran empuk sebagai lahan eksploitasi tanpa adanya yang namanya konservasi. Karena beinvestasi diwilayah perikanan sangat menjanjikan. Teknologi dibidang perikanan yang semakin berkembang menjadikan penangkapan ikan semakin mudah. Hal ini semua dilakukan dengan alih menambah lapangan kerja, mensejahterahkan masyarakat, menambah devisa negara. Jadi seharusnya Indonesia mengalam swasembada pangan khususnya dibidang perikanan, namun fakta menunjukkan hal yang jauh berbeda dengan yang seharusnya dikarenakan hasil ekploitasi tersebut tidak diberikan kepada masyarakat kita melainkan diberikan kepada orang-orang serakah.
Pemerintah tidak pernah memperhatikan persoalan dan tantangan bangsa ini, yang mereka pikirkan hanyalah perekonomian Negara. Namun pernahkah kita sadari bahwa jika perekonomian masyarakat kita stabil akan stabil pula perekonomian bangsa ini, dan saya melihat bahwa masyarakat kita tidak membutuhkan gedung tinggi untuk tempat kerjanya, rumah mewah untuk tempat tinggalnya, kapal besar untuk menangkap ikan, alat berat untuk mengolah lahan pertaniannya, yang mereka butuhkan hanyalah kesejahteraan lahir dan batin. Budaya asli masyarakat kita tidak pernah menginginkan harta yang melimpah, karakter masyarakat kita bukan keserakahan tapi kesederhanaan. Masyarakat kita tidak membutuhkan semua itu. Jadi pertanyaan selanjutnya untuk apa semua semua pasilitas mewah itu dibangun? Saya bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya semua ini dibangun untuk orang-orang serakah yang ingin merebut semuanya dari masyarakat kita.
Saya melihat sisi lain dari hal tersebut, justru kehadiran kesemuanya itu mendiskreditkan posisi masyarakat sipil khususnya nelayan. Dengan adanya teknologi dibidang perikanan membuat pengurangan pekerja karena posisinya sudah tergantikan oleh mesin, jadi bukan menambah lapangan pekerjaan malah membunuh para nelayan. Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Sungguh memprihatinkan fakta tersebut yang berbanding terbalik dengan kekayaan laut di negeri tercinta dan kebanggaan bangsa Indonesia yang menganggap nenek moyangnya seorang pelaut terkesan hanya legenda mitos dan menjadi kenangan belaka. Kemiskinan yang membelenggu nelayan di negara maritim ini sudah berlangsung lintas generasi dan seakan tidak pernah berhenti seiring dengan perkembangan zaman, bahkan pendapatan nelayan Indonesia berada di bawah standar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia yakni sebesar Rp520 ribu per bulan.
Sementara itu persediaan ikan dilaut lepas semakin berkurang melihat kondisi eploitasi kelautan terjadi dimana-mana, tak terkecuali di Indonesia. Menurut United Nation for Food and Agriculture saat ini kondisi persediaan ikan setengahnya telah sepenuhnya dieksploitasi, seperempat bagiannya telah dieksploitasi secara berlebihan, dan yang tersisa hanya seperempat bagian, dan wilayah tersebut terdapat diwilayah lepas pantai aceh. Sedangkan fakta lain dari Data hasil survey menunjukkan bahwa Aceh dulunya memiliki 15 jenis ikan dominan, pada 1998 menurun menjadi 13, kemudian terus menurun menjadi 9 jenis. Jika hal ini terus dibiarkan dimasa yang akan datang anak atau cucu kita tidak lagi akan merasakan nikmatnya ikan bakar, karena ulah kita semua. Yang menjadi penyebab utama dari musibah ini karena kita melupakan kearifan local masyarakat kita yang sangat menghormati alam dan tunduk pada hukum-hukumnya, berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang yang justru melawan hukum-hukum alam.
Di Indonesia banyak sekali tradisi-tradisi yang dilakukan dalam proses penangkapan ikan yang mulai tergusur oleh zaman yang sebenarnya jika dikaji secara pilosofis, tradisi tersebut sangat mengedepankan aspek perikanan berkelanjutan. Contoh yang bisa saya angkat, mitos tentang menemukan ikan hiu pada saat berlayar itu masyarakat menganggap bahwa pada hari itu mereka sial dan harus kembali kedaratan, percuma diteruskan pelayaran karena mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Mitos lain misalnya hari-hari tertentu tidak diperbolehkan turun berlayar, dilarang menangkap penyu, hanya hasil tangkapan dengan ukuran tertentu yang bisa dibawa pulang, tidak boleh menangkap ikan yang dalam keadaan hamil. Mitos- mitos seperti diatas jika dikaji lebih jauh, memang sangat mendukung keberlanjutan sumber daya alam kita khususnya perikanan.
Hal seperti ini sering terabaikan oleh kita semua, karena kita menganggap bahwa mempercayai mitos itu kuper alias tidak gaul, ketinggalan zaman atau apalah. Tapi sebenarnya makna tersirat dari mitos diatas memiliki arti penting. Sampai saat ini saya masih merasa optimis bahwa Indonesia masih bisa diselamatkan, dan satu-satunya jalan yaitu memberdayakan kearifan local dan budaya, mulai saat ini kita harus mulai mengenal jati diri kita sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki budaya sendiri, bukan budaya impor, bangsa yang pernah Berjaya dimasa lalu. Kita sudah sama-sama tahu bahwa Indonesia merupakan Negara Maritim.
Indonesia dikenal bukan karena pelautnya namun karena hasil lautnya yang melimpah. jadi buatlah Indonesia menjadi Negara bukan hanya julukannya saja sebagai Negara maritim tetapi Negara maritim itu terimplementasikan kedalam roh Indonesia dengan menjadikan Negara pemasok hasil laut yang terkemuka dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutannya, jadi kita tidak hanya mampu mendongengkan anak cucu kita tentang kejayaan masa lalu namun mereka merasakan efeknya secara riil. Caranya kembalikan budaya asli kita, budaya maritim. Jepang bisa maju karena masyarakatnya sadar akan budaya mereka, dan tidak melupakannya.
Paisal (10 Desember 2013)

0 comments: