Aku pernah mendengar kisah seorang sufi yang bernama Ibrahim Bin Adam, disaat muridnya melihat burung kecil yang salah satu sayapnya terluka, si murid itu berfikir bagaimana cara burung itu bisa mencari makan kalau sayapnya terluka, disaat dia sementara memikirkan pertanyaan tersebut, tiba-tiba datang seekor burung lain membawakan makanan untuk si burung yang terluka tersebut, saat itu murid kaget dan tersadar, sungguh maha besar Tuhan beserta segala ciptaannya, bukankah Tuhan pernah berfirman bahwa rezeki itu sudah diatur olehNya, dan disaat itu si murid tak pernah lagi merasa ragu kalau suatu saat sayapnya patah, karena dia yakin akan karunia Tuhan.
Setelah dia bertemu dengan sang guru (Ibrahim Bin Adam) dia dengan bangga menceritakan ketakjubannya saat melihat seekor burung yang terluka sayapnya. Gurunya menanggapi dengan biasa saja, si murid merasa aneh, bukankah ini kisah yang luar biasa, kenapa sang guru menanggapinya dengan dingin. Hal itu membuat si murid merasa kebingungan. Guru pun bertanya, kenapa engkau merasa bangga sekali jika suatu saat engkau berada diposisi burung yang terluka dan engkau sangat yakin akan ada burung lain yang akan membantumu? Kenapa engkau tidak pernah berfikir menjadi burung yang membantu burung yang terluka sayapnya itu. Bukankah hal itu bisa kamu lakukan kapanpun kamu mau. Si murid tiba-tiba tercengang mendengar jawaban gurunya, sungguh benar-benar sang guru mampu menemukan hikmah yang jauh lebih agung dari hikmah yang didapatkan oleh murid.
Sejak saat itu aku mulai
meyakinkan diriku untuk menjadi burung yang selalu akan membantu burung yang
terluka, meskipun disaat sayapku juga sebenarnya sedang terluka sekalipun. Dan,
tepatnya kemarin, aku sedang melihat burung yang terluka sayapnya, burung itu
begitu periang, bahkan ia tidak pernah sadar kalau sebenarnya sayapnya terluka,
sampai aku memberitahunya. Disaat dia tersadar kalau ternyata sayapnya terluka,
senyumnya tidak lagi setulus dahulu, tidak lagi seindah diawal, pada senyumnya
telihat jelas luka itu, luka yang begitu dalam. Sebagai orang yang telah
menginternalisasi dengan baik kisah sufi itu tergerak untuk menjadi burung yang
akan membantu burung yang terluka itu. Namun disaat saya menawarkan bantuan,
teryata dia tidak mau menerima bantuanku, akupun tidak tau kenapa, mungkin dia
merasa aku bukanlah yang dikirimkan Tuhan untuk membantunya, atau dia mungkin
sedang menunggu burung lain yang telah lebih meyakinkan dia, atau mungkin juga
dia memang lebih bahagia disaat terluka karena akan banyak yang peduli padanya,
hanya dia yang tau, dan dia tidak pernah ingin memberitahuku. aku benar-benar
merasa bingung, apakah aku harus berusaha meyakinkan agar dia mau dibantu oleh
saya, atau aku berhenti saja menjadi burung yang peduli.
Seperti murid dari sang sufi itu,
akupun tersadar, ternyata menjadi burung yang membantu burung yang terluka juga
suatu saat akan ada diposisi yang tidak menguntungkan. Peristiwa itu membuatku
berfikir ulang untuk menjadi burung yang bagaimana, apakah tetap menjadi burung
yang akan membantu burung yang terluka sayapnya, meskipun akan mengalami
penolakan, atau justru ikut menjadi burung yang terlukan dan menunggu burung
lain yang akan membantu.??
Tapi satu hal yang aku bisa
pelajari dari kejadian ini, aku merasa lebih hebat dari si Murid maupun si sang
Sufi itu, karena pengalamanku ternyata mampu menemukan hal diluar dari dugaan
kedua guru murid Sufi itu.
"Jika ingin kau patahkan sayapku, jangan salah satunya saja, tapi patahkanlah keduanya agar aku tak lagi berharap untuk terbang"
Makassar, 26 Juni 2020
0 comments:
Post a Comment