Pernah tidak kamu merasa orang tuamu memperlakukanmu
seakan-akan kamu masih berusia anak-anak, memperhatikan semua makananmu,
pakaianmu, kamu dengan siapa saat ini, marah-marah kalau terlambat angkat
telpon. Harus mendapat jaminan dari orang yang dia kenal untuk mengizinkan kamu
bepergian, dan masih banyak hal-hal lain. Padahal usia kamu sudah umur dewasa,
bahkan teman sebayamu dulu beberapa sudah punya gelar ayah atau ibu.
Hal itu wajar, rata-rata orang tua yang peduli sama anaknya
itu cenderung memperlakukan anak-anaknya seperti anak-anak yang masih berumur
5-10 tahun. Ayah saya saja masih diperlakukan seperti anak-anak oleh ibunya
yang jelas-jelas ayah saya sudah memiliki anak (Tapi ini penilaian subjektifku, bisa saja penilaian kalian berbeda).
Model-model kepedulian orang tua semacam ini secara turun-temurun telah
diwariskan dari generasi kegenerasi, dan menjadi kultur dimasyarakat.
Sianak yang memang bawaannya bandel, manja, sok gaul sering
merasa risih dengan model kepedulian seperti itu, terlalu hiperprotektif, menganggap
bahwa hal itu sudah tidak perlu karena dirinya sudah dewasa, sudah bisa jaga
diri, tidak kurang keinginan mereka, kepedulian orang tua hanya sebatas tahu
informasi saja tentang kabar anaknya. Salahkan yang dilakukan oleh orang tua
yang seperti itu? Lantas sebagai seorang anak kita harus melakukan apa?
Oke, sekarang coba renungi masa lalu yang pernah dilalui,
kira-kira trauma apa yang dialami oleh kedua orang tua kita sehingga masih
tetap selalu memperlakukan kita seperti anak-anak. Pikirkan, sejak anaknya
terlahir seorang ibu tak pernah jauh-jauh dari bayinya, sebagai seorang ayah
selalu punya alasan untuk segera tiba dirumah karena setiap saat merasa rindu
membuat sikecil tertawa. Mereka selalu berusaha menjamin segala kebutuhannya,
sampai sijabang bayi mulai merangkak dan belajar berjalan, sebagai ayah dan ibu
mereka tidak pernah mengeluh, tidak pernah merasa lelah menemani dan
menyemangati sibayi untuk belajar dan belajar berjalan. Perhatikan senyum
mereka berdua saat melihat anaknya sudah mampu berjalan! Bukan senyuman
mahasiswa kepada dosen, bukan senyuman gadis secantik cinta kepada Rangga yang
telah membuatnya menunggu bertahun-tahun. Tapi senyuman itu hanya akan kau
dapati pada bibir seorang ibu yang tersenyum kepada anaknya karena prestasi.
Sikecil yang tadinya masih belajar berjalan sekarang sudah
mulai tumbuh, seiring pertumbuhan badannya, kemampuan nalarnya juga mulai
berkembang, sikecil tadi sudah bisa merasakan sedih, marah, dongkol, senang,
bahagia, kecewa, cemburu. Coba ingat waktu kamu merasa jengkel sama ibu mu,
marah sama ayahmu, apa mereka ikutan baper sama kamu? Kan tidak. Coba bayangkan
kalau naluri keibuan seorang ibu tidak ada, ketika kamu marah sama dia, dan dia
langsung marah balik kekamu “dasar anak tidak tau diuntung sudah besar dari air
susuku, makan dari tanganku, eh bisanya Cuma marah, kembalikan semua yang sudah
kau dapatkan dari saya!” mau apa coba, bisa apa coba, paling Cuma bisa gigit
jari sambil lompat kejurang. Dan saya sangat yakin tidak ada seorang ibu yang
seperti itu. Coba ingat-ingat kembali perjalan hidupmu, adakah perlakuan orang
tuamu yang mereka berikan kepadamu yang dilandasi dengan amarah, dilandasi
dengan kebencian? Kalau ada berarti saya salah, tapi kayaknya tidak ada.
Perubahan karakter yang terjadi pada diri kita itu terjadi
dengan perlahan, dan orang tua hanya mampu memahami karakter kita, tapi tidak mampu
merasakan perubahannya, maka dari itu mereka merasa kita masih tetap anak-anak,
karena sebelumnya kita tidak pernah berpisah secara mandiri dengan mereka, kecuali
kalau dari kecil kita tidak besar bersama mereka maka kondisinya juga pasti
berbeda. Bayangkan seorang anak yang pakaianya selalu dicucikan, makanannya
disiapkan, pola makannya diatur, tidak bisa bangun pagi tanpa dikasih bangun
oleh seorang ibu, tempat tidur dirapikan oleh ibu, tiba- tiba harus keluar kota
berpisah dengan orang yang paling memanjakan hidupnya dan waktu yang cukup lama
demi melanjutkan jenjang pendidikan. Seorang ayah dan ibu tidak pernah merasa
yakin akan ada sosok yang bisa mengambil peran mereka untuk menjaga kalian. Karena
mereka sudah merasa perhatian yang diberikan kepada anaknya itu bukan lagi
sebagai sebuah kewajiban dari orang tua tapi mereka merasa itu sudah menjadi
kebutuhan mereka. Dan ketakutan terbesar mereka adalah takut kalau nantinya lingkungan
barumu yang jauh dari mereka mampu mempengaruhimu dan membuat kamu melupakan
mereka. Cepat atau lambat kamu akan memahami posisi mereka sebagai orang tua
ketika kamu juga sudah menjadi ayah atau ibu.
“Teruslah menjadi anak-anak bagi mereka, karena suatu saat nanti kamu
ingin sekali menjadi anak-anak bagi mereka dan saat itu sudah terlambat”
Makassar, 31 Januari 2016
0 comments:
Post a Comment