Aku lupa waktu tepatnya, yang jelas tiba-tiba saja aku
teringat tentang kejadian tersebut beberapa tahun silam. Ingatan yang membawaku
sampai disana bermula ketika saya sedang iseng-iseng mengintip wall facebook
seseorang dan terus menscroll kebawah sampai aku mendapatkan status yang
menurut aku lumayan menggelitik. Cukup aku saja yang tau status tersebut karena
aku tidak ingin kalian juga merasa tergelitik, karena sesungguhnya tergelitik
yang disebabkan oleh ke-alay-an orang lain itu bagian dari penganiayaan
meskipun masih dalam bentuk penganiayaan sederhana. Dan aku tidak ingin kalian
menjadi seorang penganiaya.
Membahas soal ingatan, aku ingat sekali kejadian itu,
diruang perkuliahan sedang berlangsung diskusi yang menurut saya cukup
menyenangkan, seorang senior dengan gagah berdiri menyampaikan argument-argumen
yang terbilang kritis dan sungguh ideal jika ditinjau dari kacamata mahasiswa
baru. Tidak sedikit mahasiswa baru yang berpikiran polos seperti saya
terhipnotis oleh argument-argumen beliau. Aku masih ingat kata-kata itu “jika
tujuan hidup kita hanya sekedar cepat sarjana, punya pekerjaan yang layak,
menikah dengan wanita cantik, punya anak lucu-lucu, meninggal kemudian masuk surga
bagi manusia sekaligus mahasiswa yang sadar itu hanyalah tujuan yang sangat
mainstream, yang hewanpun menjalani hidupnya seperti itu. Lantas apa beda kita
dengan hewan?” (sadaaap) Kalimat itu memang sederhana, tapi sadar tidak
sadar kalimat itu membuat kehidupan
bermahasiswaku memiliki warna, kehidupan bermahasiswaku sedikit berbeda dengan
dengan kehidupan mahasiswa kebanyakan. Membuat saya menganggap bahwa tujuan
bermahasiswa bukan hanya sekedar mendapat ijazah dan gelar sarjana, tapi lebih
dari itu.
Usiaku dikampus yang sudah menginjak tahun kelima tidak membuat
aku merasa minder, justru terkadang aku sesekali menyentil kehidupan bermahasiswa
teman-teman saya dengan pembenaran-pembenaran yang mengatas namakan idealism
(tapi cuma dalam hati, tidak menyampaikan secara langsung kepada yang
bersangkutan). Seiring perjalanan bermahasiswaku membuat cara berfikirku juga
semakin dewasa, ketika idealism dibenturkan dengan realitas sangat jarang aku
mendapati idealism keluar sebagai pemenang. Benar kata om Pram “adillah sejak
dalam pikiran” (maaf aku memanggil om, karena sangat menginginkan sosok om
seperti Pram) tetapi adil hanya akan bernilai jika memiliki realitas eksternal,
dan tidak jarang saya mendapati mahasiswa dan kayaknya juga saya termasuk
diantara daftar mahasiswa tersebut sangat adil dalam fikiran tetapi tidak dalam
tindakan. Menjerit ketika diinjak, menindas ketika berkuasa menjadi fenomena
lumrah dikehidupan mahasiswa membuat saya berusaha memaknai ulang tentang idealism
yang saya pahami selama ini.
Seiring perjalanan bermahasiswaku membuat saya sadar, selama
ini saya hanya membangun mimpi-mimpi menjadi tumpukan mimpi yang selamanya
hanya akan menjadi mimpi, saya hanya berusaha berpindah dari mimpi yang satu
menuju mimpi yang baru tanpa membuat mimpi yang sebelumnya menjadi nyata. Kesadadaranku
ini membuat saya yang dulunya berfikir ideal mulai berfikir realistis, saya
sadar saya harus terbangun agar tidak terus-terusan terjebak dalam mimpi, aku
harus membuat mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan, tetapi saya masih memiliki
ketakutan. Aku takut bangunku itu ternyata masih didalam mimpi seperti yang
tergambar dalam film “inception”. Aku butuh sosok yang bisa membuat saya yakin
kalau saya benar-benar telah terbangun dari tidur panjangku selama ini, aku
butuh sosok yang bisa meyakinkanku kalau saya sudah tidak bermimpi lagi dan
mulai merangkai cita-cita sederhanaku bersamanya.
“Mimpi hanyalah bunga tidur, jika ingin
mimpimu abadi maka tetaplah tertidur,
Tetapi jika ingin mimpimu jadi nyata maka
bangunlah”
0 comments:
Post a Comment