Sunday, January 17, 2016

2:21 PM
Aku lupa waktu tepatnya, yang jelas tiba-tiba saja aku teringat tentang kejadian tersebut beberapa tahun silam. Ingatan yang membawaku sampai disana bermula ketika saya sedang iseng-iseng mengintip wall facebook seseorang dan terus menscroll kebawah sampai aku mendapatkan status yang menurut aku lumayan menggelitik. Cukup aku saja yang tau status tersebut karena aku tidak ingin kalian juga merasa tergelitik, karena sesungguhnya tergelitik yang disebabkan oleh ke-alay-an orang lain itu bagian dari penganiayaan meskipun masih dalam bentuk penganiayaan sederhana. Dan aku tidak ingin kalian menjadi seorang penganiaya.

Membahas soal ingatan, aku ingat sekali kejadian itu, diruang perkuliahan sedang berlangsung diskusi yang menurut saya cukup menyenangkan, seorang senior dengan gagah berdiri menyampaikan argument-argumen yang terbilang kritis dan sungguh ideal jika ditinjau dari kacamata mahasiswa baru. Tidak sedikit mahasiswa baru yang berpikiran polos seperti saya terhipnotis oleh argument-argumen beliau. Aku masih ingat kata-kata itu “jika tujuan hidup kita hanya sekedar cepat sarjana, punya pekerjaan yang layak, menikah dengan wanita cantik, punya anak lucu-lucu, meninggal kemudian masuk surga bagi manusia sekaligus mahasiswa yang sadar itu hanyalah tujuan yang sangat mainstream, yang hewanpun menjalani hidupnya seperti itu. Lantas apa beda kita dengan hewan?” (sadaaap) Kalimat itu memang sederhana, tapi sadar tidak sadar  kalimat itu membuat kehidupan bermahasiswaku memiliki warna, kehidupan bermahasiswaku sedikit berbeda dengan dengan kehidupan mahasiswa kebanyakan. Membuat saya menganggap bahwa tujuan bermahasiswa bukan hanya sekedar mendapat ijazah dan gelar sarjana, tapi lebih dari itu.

Usiaku dikampus yang sudah menginjak tahun kelima tidak membuat aku merasa minder, justru terkadang aku sesekali menyentil kehidupan bermahasiswa teman-teman saya dengan pembenaran-pembenaran yang mengatas namakan idealism (tapi cuma dalam hati, tidak menyampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan). Seiring perjalanan bermahasiswaku membuat cara berfikirku juga semakin dewasa, ketika idealism dibenturkan dengan realitas sangat jarang aku mendapati idealism keluar sebagai pemenang. Benar kata om Pram “adillah sejak dalam pikiran” (maaf aku memanggil om, karena sangat menginginkan sosok om seperti Pram) tetapi adil hanya akan bernilai jika memiliki realitas eksternal, dan tidak jarang saya mendapati mahasiswa dan kayaknya juga saya termasuk diantara daftar mahasiswa tersebut sangat adil dalam fikiran tetapi tidak dalam tindakan. Menjerit ketika diinjak, menindas ketika berkuasa menjadi fenomena lumrah dikehidupan mahasiswa membuat saya berusaha memaknai ulang tentang idealism yang saya pahami selama ini.

Seiring perjalanan bermahasiswaku membuat saya sadar, selama ini saya hanya membangun mimpi-mimpi menjadi tumpukan mimpi yang selamanya hanya akan menjadi mimpi, saya hanya berusaha berpindah dari mimpi yang satu menuju mimpi yang baru tanpa membuat mimpi yang sebelumnya menjadi nyata. Kesadadaranku ini membuat saya yang dulunya berfikir ideal mulai berfikir realistis, saya sadar saya harus terbangun agar tidak terus-terusan terjebak dalam mimpi, aku harus membuat mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan, tetapi saya masih memiliki ketakutan. Aku takut bangunku itu ternyata masih didalam mimpi seperti yang tergambar dalam film “inception”. Aku butuh sosok yang bisa membuat saya yakin kalau saya benar-benar telah terbangun dari tidur panjangku selama ini, aku butuh sosok yang bisa meyakinkanku kalau saya sudah tidak bermimpi lagi dan mulai merangkai cita-cita sederhanaku bersamanya.

“Mimpi hanyalah bunga tidur, jika ingin mimpimu abadi maka tetaplah tertidur,
Tetapi jika ingin mimpimu jadi nyata maka bangunlah”

Makassar, 18 Januari 2016

0 comments: