Pergantian tahun selalu diwarnai dengan fenomena-fenomena
unik, tak terkecuali pergantian tahun 2017 menuju tahun 2018. Fenomena akhir
tahun ini dibuka dengan pernyataan mencengangkan oleh tokoh berpengaruh di
Amerika yaitu Donald Trump yang mengatakan akan memindahkan ibu kota Israel
dari Tel Aviv ke Yerussalem, salah satu kota yang disucikan oleh Umat Muslim.
Pernyataan tersebut menuai reaksi dari dunia Internasional khususnya
negara-negara Muslim di Timur Tengah.
Isu pemindahan ibu kota Israel berangsur-angsur menghilang diganti dengan isu hukum mengucapkan selamat hari natal dan tahun baru bagi orang Muslim. Isu ini tiap tahun bergulir dilingkaran masyarakat muslim dan lambat laun akan hilang dengan sendirinya diganti dengan isu lain. Selalu seperti itu. Saya tidak ingin menjelaskan persoalan halal dan haramnya mengucapkan selamat natal dan tahun baru, karena saya bukan ahli agama ditambah lagi para Ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini.
Sebagai seorang Muslim yang mungkin tidak begitu taat, karena melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim saja saya masih merasa sangat berat. Mengucapkan selamat natal dan tahun baru berikut atribut yang melekat didalamnya seperti topi sinterklas, kembang api, terompet dll. Bagi saya tidak mempengaruhi apapun yang saya yakini tentang Islam. Apa bedanya topi sinterklas, peci hitam, kupluk, kemeja, topi hip-hop, jas, topi koboi, baju kokoh dan lain-lain yang toh semua itu produk dari asimilasi budaya yang berkembang saat ini.
Selanjutnya fenomena tahun baru susah dilepaskan dengan
pesta kembang api. Tapi yang perlu dipahami bahwa tidak semua lapisan
masyarakat memperingati pergantian tahun dengan pesta kembang api. Ada banyak
model peringatan pergantian tahun, hanya saja pesta kembang api yang cukup
populer. Secara pribadi saya tidak masalah dengan peringatan pergantian tahun,
karena saya menganggap bahwa setiap momentum tidak bisa dilepaskan dengan
selebrasi. Momentum dan selebrasi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan
layaknya dua sisi mata uang.
Kembali kemasalah pesta kembang api, jika memang harus kita
tolak, saya lebih tertarik menggunakan isu lingkungan, ekonomi dan sosial
dibandingkan dengan menggunakan isu agama. Karena dalam pandangan pribadi saya
budaya lebih pada produk interaksi sosial dibanding dengan produk agama. Dalam
agama tidak ada budaya yang berkembang murni dari agama itu sendiri melainkan
hasil modifikasi dari budaya yang sudah ada sebelum agama ada, meskipun tidak
bisa dipungkiri bahwa pengaruh agama juga memiliki peran. Hal itu pun berlaku
untuk agama Islam misalnya, budaya halal bi halal, ketupat di hari raya idul
fitri, bukber di bulan ramadhan, bentuk kubah pada mesjid, bedug, menara mesjid dengan pengeras suara, peci hitam dan lain-lain. Semua itu bukanlah budaya
yang murni terbentuk dari Islam. Melainkan hasil dari perpaduan budaya yang sudah ada sebelumnya. Budaya tidak bisa dijadikan landasan untuk
menghukumi identitas keberagamaan seseorang, sebab budaya bersifat dinamis.
Mungkin akan lebih terarah jika kritikan tentang pesta
kembang api dikaitkan dengan isu lingkungan misalnya seberapa besar dampak
polusi yang dihasilkan oleh kembang api. Berapa banyak anggaran yang dihabiskan
hanya kurang dari hitungan jam, berapa besar peluang menyebabkan serangan
jantung akibat dari ledakan yang dihasilkan oleh kembang api. Masih banyak lagi
pertanyaan yang akan muncul yang jawabannya akan menjadi sebuah kritikan.
Mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itu lebih bisa mendukung argumentasi
untuk tidak menggunakan kembang api, dibanding harus menggunakan dalil-dalil
agama, yang secara pribadi belum tentu juga kita memahami maknanya.
Setiap orang punya pendapat, dan pendapat seperti inilah
pendapat saya. Saya tekankan bahwa pendapat ini murni pendapat pribadi saya dan
sangat mungkin salah tapi secara pribadi inilah yang saya anggap benar. Karena
seyogyanya kebenaran yang hakiki itu mutlak hanya milik Tuhan yang maha kuasa,
sebagai umat manusia kita hanya berusaha menafsirkan kebenaran yang hakiki itu
sesuai dengan kualitas dan kemampuan diri kita. Meminjam analogi bang Sabrang
sebagaimana yang saya pahami bahwa, kebenaran itu ibarat Photografer yang sedang
mengambil sebuah gambar bunga dengan angle yang berbeda. Hasil gambar dari
angle yang berbeda itu pasti hasilnya berbeda, tapi semua benar dari sudut
pandang pengambilan gambarnya. Selanjutanya meskipun gambar diambil dari angle
yang sama tapi menggunakan kamera dengan kualitas dan spesifikasi yang berbeda
hasil yang didapatkan pun pasti akan berbeda. Tidak ada yang salah dari semua
gambar itu, hanya kualitas yang membedakannya. Beitupun harusnya kita memandang
sebuah kebenaran.
Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2018
0 comments:
Post a Comment