Tugu Peace Menuju Kampubbu |
Kira-kira 15 menit
perjalanan yang ditempuh dengan sepeda motor kecepatan rata-rata kearah selatan
kota Watampone, disebelah kanan terdapat penggilingan padi yang luamayan besar
milik PT. Pertani. Setelahnya ada pertigaan kekanan yang ditengahnya berdiri
kokoh sebuah tugu dengan jari telunjuk dan jari tengah berdiri tegak sedangkan
yang lainnya dikepal, pemuda didaerah tersebut mengenal tugu itu dengan sebutan
tugu peace (perdamaian) karena menganggap bahwa patung itu mewakili makna peace
sebagaimana symbol perdamaian yang selalu dipertontonkan oleh orang bule dengan
kedua jari berdiri tegak dan yang lainnya ditekuk dibawah ibu jari. Tapi tujuan
sebenarnya tugu itu dibuat adalah untuk mempropagandakan program pemerintah
khususnya dari pihak BKKBN, dua anak cukup.
Ketika
melewati tugu itu dan menyusururi jalan, jangan menganggap bahwa akan menemui
jalan beraspal sampai diujung jalan. Jalan mulus hanya akan dijumpai sepanjang
2 KM, setelahnya sulit membedakan yang mana kubangan kerbau dan yang mana
jalanan, kalau tidak percaya buktikan sendiri. Kurang lebih 500 meter dari
ujung aspal akan terlihat sungai irigasi yang mengalir dari sebelah kiri, dan
dipinggirannya terdapat jalan berbatu, tapi kayaknya lebih tepat dibilang
lorong, dipenghujung lorong itu berdiri kokoh bendungan pattiro sejak 1928, dan
bendungan ini mampu mengairi sawah dengan luas kurang lebih 40.000 hektar
sawah. Kampung yang saya ceritakan ini kalau tidak salah namanya Kampubbu,
dikampung ini bermukim kurang lebih 500 kepala keluarga sebuah dusun kecil yang
terpisah dari desanya, karena untuk menuju kekantor desa harus menyeberangi
desa lain, tepatnya kita keluar dulu ketemu dengan tugu peace yang tadi lalu
belok kanan, disanalah kantor desa dan pak desanya berada(mungkin terlalu sadis
kalau saya bilang dusun ini dusun yang dianak tirikan).
Dusun Kampubbu |
Sebenarnya
tidak ada yang menarik dari dusun ini, tapi saya akan berusaha untuk membuatnya
menjadi kampung yang menarik. Sepanjang kampung ini mengalir sungai irigasi
yang luasnya lumayan kalau dijadikan tempat untuk belajar berenang. Kiri kanan
pemukiman membentang luas persawahan yang mampu menghidupi orang-orang ditempat
tersebut dan orang-orang didaerah yang tidak menghasilkan beras. Jika kota
Makassar diibaratkan sebuah bangunan, tempat ini bisa diklaim sebagai salah
satu tiang dari bangunan yang bernama Makassar. Kenapa saya bilang begitu,
karena 10% suplai beras yang Makassar yang diimpor dari Bone berasal dari
tempat ini. kenapa tidak, dusun ini mampu menghasilkan kurang lebih 1000 ton
gabah sekali panen dan dengan bantuan irigasi dari bendungan pattiro, didusun
ini mampu panen 3 kali dalam setahun.
Wajar saja kalau
tempat ini sangat asing ditelinga pembaca karena pembaca lebih tertarik membahas
sesuatu yang sedang trand pada saat itu, sebut saja salah satu contoh kasus
ketika anda mengunjungi warkop, pemuda yang nongkrong tidak lagi membahas soal
wanita, tapi saat ini pemuda lebih tertarik untuk membahas batu bacan, batu
akik, batu giok dan saudara-saudaranya. Jangankan untuk membahas wilayah penghasil
beras khususnya disul-sel lebih khususnya lagi di Bone, pembahasan soal wanita
diantara pemuda-pemuda saja dengan mudahnya tersingkir oleh pembahasan soal
batu bacan dan saudara-saudara-saudaranya. Benar apa kata pemikir modernis,
bahwa kecenderungan masyarakat modern lata terhadap perkembangan zaman, begitu
pula yang terjadi denga masyarakat Indonesia hari ini.
Pasti ada yang
berfikiran kenapa saya harus mempublish beberapa hal menurut saya menarik dari
tempat ini, padahal kalau dilihat secara kasat mata, tidak ada yang istimewa. Satu-satunya
alasan saya dalam menulis artikel ini karena tepat ini adalah kampung halaman
saya, tempat yang awalnya mempekenalkan saya tentang berbagai hal, mulai dari
budaya, kehidupan, sampai saya bisa mengenal Makassar dan orang-orang yang
membuat cara berfikir saya berubah 180 %. Saya hanya bisa mengatakan jangan
pernah melupakan kampung halaman karena dari sanalah kita mulai bisa mengenal
segalanya.
0 comments:
Post a Comment