Monday, February 17, 2014

9:54 AM

1388886169946409870
berpose depan kuil Wat Chalong di Phuket, Thailand
DI tengah alam Thailand yang dijejaki gajah putih dan kisah kerajaan, terselip kisah tentang keperkasaan orang-orang Makassar. Seorang sejarawan Perancis mencatat bahwa pasukan Makassar pernah bertarung melawan ribuan pasukan gabungan Perancis dan Siam dalam satu pertempuran yang heroik. Kisah keberanian orang-orang Makassar terus dituturkan hingga kini di tanah Thailand.
***
DI satu perahu kecil yang membawaku ke laut Andaman, pria Thailand itu banyak bercerita tentang sejarah negerinya. Pria itu, yang sering kusapa Mr Ming, menjelaskan tentang Thailand yang tenang dan damai pada akhir perang dunia kedua. Ia bukan sejarawan. Ia adalah seorang tour guide yang hari itu kebagian tugas menemani turis-turis Indonesia di Phuket. Di akhir kisahnya, ia lalu bertanya tentang asal daerahku. Ketika kusebut Makassar, ia langsung terkesiap. “Apa kamu benar berasal dari Makassar? Apa kamu tahu sejarah Makassar yang hebat di tanah Siam ini?”
Saat itu aku menggeleng. Mr Ming lalu menjelaskan tentang sebuah lokasi di rerimbunan kota Bangkok yang bernama MAKASSAN. “Tempat menyimpan sejarah orang-orang Makassar di Thailand. Kamu mesti mencari tahu tentang kisah itu. Kisah orang Makassar memiliki tempat istimewa di tanah ini,” katanya.
Thailand memang menyimpan banyak pertalian dengan Nusantara. Sehari sebelumnya, Mr Ming mengajakku mengunjungi satu perkampungan terapung di laut Andaman. Di situ, aku mendapat penjelasan kalau warga kampung terapung itu dahulu adalah orang-orang Melayu yang kemudian bermigrasi ke Thailand. Meskipun mereka diwajibkan untuk berbicara dalam bahasa Thailand, banyak dari mereka yang hingga kini masih bisa berbahasa Melayu.
Pernah pula, Mr Ming mengajakku mengunjungi kuil Wat Chalong. Di dekat kuil itu, aku menyaksikan rumah tradisional masyarakat Phuket. Rumah itu berbentuk rumah kayu dengan tangga-tangga. Konstruksi rumah itu sangat mirip dnegan rumah-rumah kayu di Indonesia. Saat melihat rumah di dekat kuil itu, aku teringat pada balla kayua, rumah tradisional orang Makassar. Apakah memang ada pertalian sejarah antara Thailand dan Makassar?
1388886488473422923
salah satu rumah tradisional Thailand yang berbentuk rumah kayu
1388886557943313305
gambar Raja Thailand yang bisa ditemukan di mana-mana, termasuk di depan sebuah toko
Sayangnya, Mr Ming tak menjelaskan leih jauh tentang pertalian sejarah itu. Aku lalu mengontak seorang kawan bernama Phim. Ia adalah sejarawan muda Thailand yang tengah menempuh studi di Amerika Serikat. Ia menjelaskan tentang kampung Makassan yang kini menjadi satu wilayah elite di  Bangkok. Ketika kutanya sejarah kampung itu, ia berkisah bahwa di situ pernah ada satu kisah kengerian dan kisah keberanian yang dituturkan hingga kini.
Penjelasan itu tak membuatku puas. Akhirnya kutemukan jawabannya pada buku yang ditulis sejarawan Perancis Bernard Dorleans. Buku yang telah diterjemahkan oleh KPG dan diberi judul Orang Indonesia dan Orang Perancis itu memuat kesaksian seorang prajurit Perancis bernama Claude de Forbin yang dikirim ke Siam oleh Raja Louis XIV bersama 6 kapal dan satu detasemen militer yang beranggotakan 636 orang.
Meskipun labelnya adalah kerjasama, Claude de Forbin dan pasukannya didatangkan sebagai serdadu untuk membela kehormatan Raja Siam Phra Narai, yang saat itu berkedudukan di Ayuthaya. Pada masa itu, keadaan di Siam penuh dengan intrik. Banyak perselisihan serta ancaman kudeta yang dihadapi Raja Siam yang menyadari betul bahwa kekuasaannya tak mengakar kuat. Sang raja lalu meminta pasukan Perancis untuk memperkuat pertahanan.
Pada masa itu, orang Makassar dipimpin oleh Daeng Mangalle yang tiba pada 1664 sebagai pelarian bersama 250 pengikut. Raja Phra Narai menampung Daeng Mangalle, seperti umumnya para bangsawan asal Bugis-Makassar, mereka membuktikan kepiawaian sebagai prajurit profesional di Asia Tenggara. Kala itu banyak prajurit Bugis-Makassar bertugas di kerajaan ataupun kongsi dagang barat, termasuk Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (VOC).
Sayang, Daeng Mangalle terlibat konflik dengan Konstantin Hierarchy (ada yang menyebut sebagai Konstantin Fhaulkon), seorang warga Yunani, mantan pegawai Serikat Dagang Hindia Timur Inggris (EIC) yang menjadi penasihat Raja Phra Narai. Terjadilah pemberontakan Makassar pada akhir 1686 antara koalisi Daeng Mangalle, pangeran lokal, pemukim Champa, Melayu, dan Persia melawan pasukan Kerajaan Siam yang dibantu serdadu Eropa.
Para pemberontak itu khawatir akan diperbudak oleh raja yang merasa semakin kuat dengan datangnya pasukan baru. Pada masa itu, perbudakan menjadi sesuatu yang dilegalkan. Ketika menjadi budak, maka seseorang akan kehilangan kebebasan dan kehormatannya. Raja Phra Narai mengetahui persekongkolan itu. Ia lalu meminta Daeng Mangalle agar meminta maaf. Namun permintaan itu ditolak Daeng Mangalle.
Raja lalu memerintahkan Claude de Corbin untuk mengepung orang Makassar. Pertempuran pertama dimulai ketika 40 orang Makassar menghadapi ratusan serdadu Perancis dan Portugis. Corbin mencatat bahwa orang Makassar tak mau kalah. Mereka menyerang dan mengejar pasukan Perancis dan Portugis yang saat itu juga hendak  membantai perempuan dan anak-anak. Orang Makassar bertarung dengan keberanian tiada tara. Enam orang Makassar menyerang pagoda dan membunuh beberapa prajurit serta biarawan di sana. Sebanyak 366 orang prajurit Perancis ditewaskan oleh enam orang Makassar.
13888866181360463563
plang yang bertuliskan kampung Makassan di Bangkok (foto: nationalgeographic.co.id)
13888866781692821768
seorang biksu melintas di Phuket
1388886754328610997
orang Perancis dan orang Makassar pada sampul buku yang ditulis Bernard Dorleans
Masih dalam catatan Corbin, pada tanggal 23 September 1686, Raja Siam memerintahkan serangan besar ke perkampungan orang Makassar. Mereka hendak membumihanguskan kampung dan membunuh mereka. Warga Makassar menghadapinya dengan semangat siri, keyakinan untuk membela kehormatan sampai titik darah penghabisan. Pasukan Makassar akhirnya takluk. Daeng Mangalle sendiri terluka lalu tewas akibat lima tusukan tombak, setelah membunuh seorang menteri kerajaan, serta beberapa orang Inggris.
Penduduk Siam sangat mengagumi keberanian orang Makassar yang menghadapi ribuan tentara. Dengan hanya 250 orang, orang Makassar telah menewaskan tentara sebanyak 1000 orang Siam dan 17 warga asing. Orang-orang Siam mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa heroik yang pernah mereka saksikan. Daeng Mangalle dikenang sebagai orang hebat yang bertarung untuk membela kehormatan. Warga Siam lalu mengabadikan Makassar sebagai nama salah satu distrik di Bangkok, kawasan yang dahulu bernama Krung Thep.
Antropolog Perancis Christian Pelras dalam majalah Archipel pada tahun 1997, menuturkan kisah lain seusai pembantaian orag Makassar. Katanya, dua bangsawan muda Makassar yang tersisa di Siam lalu dibawa ke Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV.  Dua orang itu lalu menjadi anggota legiun pasukan Perancis. Mereka menjadi prajurit hebat. Seorang diantaranya menjadi pasukan angkatan laut Perancis yang diberi gelar Louis Dauphin Makassar. Ketika tewas, Raja Louis XIV memerintahkan agar ia dimakamkan di tempat terhormat dalam Gereja Saint-Louis de Brest, barat laut Prancis. (kisahnya akan saya tulis pada artikel lain).
***
Usai membaca kisah sejarah itu, aku kembali bertemu Mr Ming, tour guide di Phuket. Ia masih saja mengagumi peristiwa masa silam itu. Hanya saja, saat itu aku lebih banyak diam. Aku baru saja membaca berita tentang tawuran serta penikaman seorang mahasiswa. Ah, setiap zaman memang punya dinamika masing-masing. Dahulu Daeng Mangalle bertarung untuk sesuatu yang prinsipil yakni kebebasan. Kini, anak-anak muda Makassar berkelahi demi gelar jagoan serta rasa bangga karena sukses membakar kampus sendiri. 

0 comments: