Ilustrasi |
Idola merupakan sosok sempurna di luar diri kita yang membuat kita
selalu berusaha untuk menjadi seperti sosok tersebut. Persepsi kita
tentang sempurna tergantung bagaimana kita memahami tentang sempurna
itu, yang dibentuk oleh lingkungan. Ada yang menganggap bahwa sempurna
adalah, ketika kita mampu membeli segalanya dengan uang, dan kita akan
akan berusaha menjadi orang yang mampu membeli segalanya dengan uang.
Ada yang menganggap sempurna itu ketika kita merasa hidup tanpa masalah,
dengan kata lain hidup bahagia, dan kita akan berusaha untuk membuat
hidup ini menjadi kebahagiaan. Ada yang menganggap sempurna itu ketika
kita dikenal di mana-mana layaknya aktris hollywood, dan kita akan
berusaha untuk menjadi layaknya artis hollywood.
Tidak bisa
dipungkiri sudah menjadi sebuah keniscayaan kalau setiap orang memiliki
idolanya masing-masing. Dalam pembahasan filsafat, orang sombong adalah
ketika dia tidak memiliki idola, dengan asumsi bahwa ketika kita tidak
memiliki idola artinya sama saja kita menganggap bahwa diri kita lebih
sempurna dari yang lain, yang mengindikasikan bahwa tidak ada
kesempurnaan di luar dari diri kita, dan ini adalah sebuah pemahaman
yang sangat keliru menurut saya. Tanpa terkecuali, saya juga memiliki
idola. Saat ini saya mendapatkan beberapa sifat-sifat Rasulullah
Muhammad saw. menjelma dalam sosok sang ayah. Hal yang membuat saya
mengagumi beliau, ditengah lingkungan yang bisa dibilang berparadigma
pendidikan rendah tapi justru beliau hadir dengan paradigma yang
berbeda.
Dalam keluarga pendidikanlah yang harus lebih diutamakan dibanding yang
lain, itulah prinsip ayah saya, pesan beliau yang selalu disampaikan
kepada saya “Takkalaa Idi’na Degaga Sikolata Jadi Assikola menenno
matanre, koparellu lellungngi lettu ricappa’na langie” pesan ini
disampaikan dalam bahasa Bugis yang jika diartikan kurang lebih seperti
ini “Terlanjur kami yang tidak bisa melanjutkan sekolah, jadi kamu harus
tetap sekolah, kalau perlu kejarlah sampai ke ujung cakrawala atau
langit.” Saya kadang berfikir, bagaimana perasaan seorang ayah ketika
amanahnya tidak diindahkan oleh anaknya. Hal itu tidak akan mungkin
terjawab sebelum kita menjadi seorang ayah. Meskipun kecewa, namun hal
itu tidak pernah ditunjukkan oleh ayah saya, atau bisa jadi dia
menyembunyikan dari saya, tapi untuk apa?
Di lingkungan kami banyak masyarakat yang kondisi kesejahteraanya jauh
di atas keluarga kami, namun mereka berpikiran lain, mereka menganggap
pendidikan itu tidak penting. Saya merasa bersyukur hadir di
tengah-tengah keluarga sederhana namun berpikiran revolusioner. Sosok
sang ayah yang rela tinggal di gubuk yang hampir roboh karena tak mampu
merenovasi demi untuk membiayai sekolah dua orang anaknya. Seorang ayah
yang menghabiskan hari-harinya selama ini untuk bercengkerama dengan
hewan ternak serta memanjakan tanaman padi di sawah demi dua orang
anaknya. Keringat yang beliau keluarkan untuk kami tak pernah menuntut
balasannya, keikhlasan yang diberikan layaknya matahari yang senantiasa
menyinari bumi tanpa meminta balasan. Sampai saat ini dan sampai
kapanpun saya tidak akan mampu membalas pengabdian yang diberikannya
selama ini. Saya menganggap dia adalah pahlawan yang sesungguhnya dalam
kehidupanku, dia adalah pahlawan keluargaku. Yang saya tahu beliau tidak
meminta apa-apa dariku dia hanya berharap suatu saat nanti, saya
akan melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tersenyum.
Posted by: Mahasiswa Nusantara
0 comments:
Post a Comment