Saturday, March 8, 2014

10:53 AM
http://www.mahasiswa-indonesia.com/2014/03/dia-pantas-menyandang-gelar-pahlawan.html
Ilustrasi
Idola merupakan sosok sempurna di luar diri kita yang membuat kita selalu berusaha untuk menjadi seperti sosok tersebut. Persepsi kita tentang sempurna tergantung bagaimana kita memahami tentang sempurna itu, yang dibentuk oleh lingkungan. Ada yang menganggap bahwa sempurna adalah, ketika kita mampu membeli segalanya dengan uang, dan kita akan akan berusaha menjadi orang yang mampu membeli segalanya dengan uang. Ada yang menganggap sempurna itu ketika kita merasa hidup tanpa masalah, dengan kata lain hidup bahagia, dan kita akan berusaha untuk membuat hidup ini menjadi kebahagiaan. Ada yang menganggap sempurna itu ketika kita dikenal di mana-mana layaknya aktris hollywood, dan kita akan berusaha untuk menjadi layaknya artis hollywood.
Tidak bisa dipungkiri sudah menjadi sebuah keniscayaan kalau setiap orang memiliki idolanya masing-masing. Dalam pembahasan filsafat, orang sombong adalah ketika dia tidak memiliki idola, dengan asumsi bahwa ketika kita tidak memiliki idola artinya sama saja kita menganggap bahwa diri kita lebih sempurna dari yang lain, yang mengindikasikan bahwa tidak ada kesempurnaan di luar dari diri kita, dan ini adalah sebuah pemahaman yang sangat keliru menurut saya. Tanpa terkecuali, saya juga memiliki idola. Saat ini saya mendapatkan beberapa sifat-sifat Rasulullah Muhammad saw. menjelma dalam sosok sang ayah. Hal yang membuat saya mengagumi beliau, ditengah lingkungan yang bisa dibilang berparadigma pendidikan rendah tapi justru beliau hadir dengan paradigma yang berbeda.

Dalam keluarga pendidikanlah yang harus lebih diutamakan dibanding yang lain, itulah prinsip ayah saya, pesan beliau yang selalu disampaikan kepada saya “Takkalaa Idi’na Degaga Sikolata Jadi Assikola menenno matanre, koparellu lellungngi lettu ricappa’na langie” pesan ini disampaikan dalam bahasa Bugis yang jika diartikan kurang lebih seperti ini “Terlanjur kami yang tidak bisa melanjutkan sekolah, jadi kamu harus tetap sekolah, kalau perlu kejarlah sampai ke ujung cakrawala atau langit.” Saya kadang berfikir, bagaimana perasaan seorang ayah ketika amanahnya tidak diindahkan oleh anaknya. Hal itu tidak akan mungkin terjawab sebelum kita menjadi seorang ayah. Meskipun kecewa, namun hal itu tidak pernah ditunjukkan oleh ayah saya, atau bisa jadi dia menyembunyikan dari saya, tapi untuk apa?
Di lingkungan kami banyak masyarakat yang kondisi kesejahteraanya jauh di atas keluarga kami, namun mereka berpikiran lain, mereka menganggap pendidikan itu tidak penting. Saya merasa bersyukur hadir di tengah-tengah keluarga sederhana namun berpikiran revolusioner. Sosok sang ayah yang rela tinggal di gubuk yang hampir roboh karena tak mampu merenovasi demi untuk membiayai sekolah dua orang anaknya. Seorang ayah yang menghabiskan hari-harinya selama ini untuk bercengkerama dengan hewan ternak serta memanjakan tanaman padi di sawah demi dua orang anaknya. Keringat yang beliau keluarkan untuk kami tak pernah menuntut balasannya, keikhlasan yang diberikan layaknya matahari yang senantiasa menyinari bumi tanpa meminta balasan. Sampai saat ini dan sampai kapanpun saya tidak akan mampu membalas pengabdian yang diberikannya selama ini. Saya menganggap dia adalah pahlawan yang sesungguhnya dalam kehidupanku, dia adalah pahlawan keluargaku. Yang saya tahu beliau tidak meminta apa-apa dariku  dia hanya berharap suatu saat nanti, saya akan melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tersenyum.

0 comments: