Ketika mendengar kalimat pantaskah guru disalahkan, pikiran kita
langsung menerjemahkan sebuah makna sebenarnya guru telah berbuat apa sehingga
posisinya harus dipertanyakan terkait persoalan dia berbuat salah ataukah
tidak? Ketika kita memperhatikan kondisi pendidikan Indonesia sangat banyak kondisi yang memperlihatkan
masyarakat umum tentang kasus-kasus guru yang berbuat diluar dari garis-garis
kewajaran sebagai seorang guru. Berbicara mengenai guru secara defenitif guru
berasal dari kata sansekerta yang
berarti pembimbing rohani, jadi secara harfiah guru sebenarnya adalah sosok
yang menjadi panutan bagi orang yang menganggapnya sebagai guru. Faktanya
apakah guru yang ada saat ini sesuai dengan peran yang seharusnya? Tunggu
pembahasannya.
Kalimat “pantaskah
guru disalahkan” merupakan sebuah judul buku yang dibedah oleh saudari A.
Hermina Yulianingsi, dimana ketika kita lihat dari segi judul memang
kelihatannya judul yang sangat profokatif, dan penulis mampu menghipnotis calon
pembaca menjadi penasaran untuk mengetahui lebih dalam tentang isi buku
tersebut. Kembali kepersoalan guru yang merupakan pembahsan paling krusial
didalam buku tersebut. Sebelum membahas lebih jauh mengenai guru kita masuk
dulu pada persoalan pendidikan bangsa indonesia saat ini. Apakah cita-cita
bangsa indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 sudah teracapai? Secara
pribadi saya dengan optimis akan mengatakan belum. Terlebih lagi jika kita akan
membandingkan kualitas pendidikan indonesia dengan negara Finlandia yang saat
ini memegang medali Emas nominasi negara dengan kualitas pendidikan terbaik
didunia. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report
2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks
pembangunan pendidikan atau education
development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan
Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Untuk saat ini pemerintah
telah mengucurkan dana sebesar 20% dari APBN untuk pendidikan, dengan dana yang
sebesar ini artinya pemerintah indonesia masih peduli dengan pendidikan bangsa
ini. Namun yang jadi permasalahan apakah dana ini memang benar-benar digunakan
untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita? Karena fakta berbicara bahwa
pendidikan indonesia dimata internasional tidak sampai peringkat 1/2 dari semua
negara didunia.
Coba kita kembali
intip sejarah pendidikan Indonesia, sekitar tahun 1960-an Indonesia pernah
menjadi pemasok tenaga pengajar untuk negeri jiran yang saat itu masih bernama
Malaya. Artinya untuk skala pendidikan indonesia jauh lebih maju dibidang
pendidikan dibanding negara tetangga. Sejarah inilah yang membentuk paradigma
masyarakat indonesia yang mayoritas menurut saya latah peradaban yang terus
mengagung-agungkan kesuksesan masa lalu dan melupakan tantangan kedepan yang
menyebabkan kualitas pendidikan kita jalan ditempat dan bahkan mundur.
Kesuksesan guru dimasa lalu kemudian merubah cara pandang kita yang menganggap
bahwa guru bukan lagi sebagai motor penggerak dan pembentuk karakter calon
generasi penerus tapi seorang guru tidak lebih terlihat hanya sebagai profesi
yang bisa mengalirkan uang. Jadi jangan heran jika kita sering menemukan
masyarakat yang menganggap bahwa seseorang dikatakan sukses ketika dia menjadi
seorang guru. Fenomena barupun muncul, calon mahasiswa yang mendaftar kuliah
dengan tujuan menjadi gurupun membludak. Dan mereka lupa akan subtansi dari
guru itu sendiri.
Sekarang kita melihat
guru honorer dimana-mana. Bahkan ada sekolah yang mayoritas guru honor daripada
guru tetapnya alias PNS, fakta lain juga memperlihatkan bahwa banyak guru saat
ini yang lebih mementingkan sertifikasi dan menelantarkan siswanya Untuk itu
kita harus membentuk kembali paradigma masyarakat bahwa guru bukan hanya
sebagai profesi semata namun. Tidak ada masalah jika sekolah dipenuhi dengan
guru honorer jika guru tersebut berfikiran revolusioner. Kita sebagai
masyarakat tidak bisa menyalahkan guru sepenuhnya karena mereka juga
membutuhkan biaya untuk menafkahi keluarganya. Sebenarnya ini hanyalah
kesalahan masa lalu yang terus diulang-ulang. Menurut saya permasalahan
pendidikan di Indonesia sederhana yaitu permasalahan kualitas tenaga pendidik.
Saya sepakat dengan kata salah satu senior
yang mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia tidak butuh kuantitas yang
dibutuhkan adalah kualitas, Indonesia tidak membutuhkan guru yang banyak banyak
namun Indonesia membutuhkan guru yang berkualitas. Jika guru sudah berkualitas
niscaya generasi penerus juga akan berkualitas. Bangsa indonesia seharusnya
berguru pada Paulo Preire yang memiliki pemikiran revolusioner dibidang
pendidikan. Menurut Paulo Preire dalam mendidik kita membentuk kesadaran kritis
dimana beliau membagi 3 jenis kesadaran yaitu kesadaran mistis, kesadaran naif
dan kesadaran kritis. Dan kita saat ini masih terjebak pada kondisi kesadaran
mistis. Ketika kesadaran kritis sudah terbentuk secara otomatis akan
menumbuhkan jiwa nasionalis yang kokoh dan generasi indonesia akan menjadi
generasi yang kuat dan tahan banting maka cita-cita pendidikan bangsa indonesia
yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945 akan terwujud.
0 comments:
Post a Comment