Friday, March 21, 2014

4:59 AM
Ketika mendengar kalimat pantaskah guru disalahkan, pikiran kita langsung menerjemahkan sebuah makna sebenarnya guru telah berbuat apa sehingga posisinya harus dipertanyakan terkait persoalan dia berbuat salah ataukah tidak? Ketika kita memperhatikan kondisi pendidikan Indonesia  sangat banyak kondisi yang memperlihatkan masyarakat umum tentang kasus-kasus guru yang berbuat diluar dari garis-garis kewajaran sebagai seorang guru. Berbicara mengenai guru secara defenitif guru berasal dari  kata sansekerta yang berarti pembimbing rohani, jadi secara harfiah guru sebenarnya adalah sosok yang menjadi panutan bagi orang yang menganggapnya sebagai guru. Faktanya apakah guru yang ada saat ini sesuai dengan peran yang seharusnya? Tunggu pembahasannya.

            Kalimat “pantaskah guru disalahkan” merupakan sebuah judul buku yang dibedah oleh saudari A. Hermina Yulianingsi, dimana ketika kita lihat dari segi judul memang kelihatannya judul yang sangat profokatif, dan penulis mampu menghipnotis calon pembaca menjadi penasaran untuk mengetahui lebih dalam tentang isi buku tersebut. Kembali kepersoalan guru yang merupakan pembahsan paling krusial didalam buku tersebut. Sebelum membahas lebih jauh mengenai guru kita masuk dulu pada persoalan pendidikan bangsa indonesia saat ini. Apakah cita-cita bangsa indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 sudah teracapai? Secara pribadi saya dengan optimis akan mengatakan belum. Terlebih lagi jika kita akan membandingkan kualitas pendidikan indonesia dengan negara Finlandia yang saat ini memegang medali Emas nominasi negara dengan kualitas pendidikan terbaik didunia. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Untuk saat ini pemerintah telah mengucurkan dana sebesar 20% dari APBN untuk pendidikan, dengan dana yang sebesar ini artinya pemerintah indonesia masih peduli dengan pendidikan bangsa ini. Namun yang jadi permasalahan apakah dana ini memang benar-benar digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita? Karena fakta berbicara bahwa pendidikan indonesia dimata internasional tidak sampai peringkat 1/2 dari semua negara didunia.
            Coba kita kembali intip sejarah pendidikan Indonesia, sekitar tahun 1960-an Indonesia pernah menjadi pemasok tenaga pengajar untuk negeri jiran yang saat itu masih bernama Malaya. Artinya untuk skala pendidikan indonesia jauh lebih maju dibidang pendidikan dibanding negara tetangga. Sejarah inilah yang membentuk paradigma masyarakat indonesia yang mayoritas menurut saya latah peradaban yang terus mengagung-agungkan kesuksesan masa lalu dan melupakan tantangan kedepan yang menyebabkan kualitas pendidikan kita jalan ditempat dan bahkan mundur. Kesuksesan guru dimasa lalu kemudian merubah cara pandang kita yang menganggap bahwa guru bukan lagi sebagai motor penggerak dan pembentuk karakter calon generasi penerus tapi seorang guru tidak lebih terlihat hanya sebagai profesi yang bisa mengalirkan uang. Jadi jangan heran jika kita sering menemukan masyarakat yang menganggap bahwa seseorang dikatakan sukses ketika dia menjadi seorang guru. Fenomena barupun muncul, calon mahasiswa yang mendaftar kuliah dengan tujuan menjadi gurupun membludak. Dan mereka lupa akan subtansi dari guru itu sendiri.
            Sekarang kita melihat guru honorer dimana-mana. Bahkan ada sekolah yang mayoritas guru honor daripada guru tetapnya alias PNS, fakta lain juga memperlihatkan bahwa banyak guru saat ini yang lebih mementingkan sertifikasi dan menelantarkan siswanya Untuk itu kita harus membentuk kembali paradigma masyarakat bahwa guru bukan hanya sebagai profesi semata namun. Tidak ada masalah jika sekolah dipenuhi dengan guru honorer jika guru tersebut berfikiran revolusioner. Kita sebagai masyarakat tidak bisa menyalahkan guru sepenuhnya karena mereka juga membutuhkan biaya untuk menafkahi keluarganya. Sebenarnya ini hanyalah kesalahan masa lalu yang terus diulang-ulang. Menurut saya permasalahan pendidikan di Indonesia sederhana yaitu permasalahan kualitas tenaga pendidik.
            Saya sepakat dengan kata salah satu senior yang mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia tidak butuh kuantitas yang dibutuhkan adalah kualitas, Indonesia tidak membutuhkan guru yang banyak banyak namun Indonesia membutuhkan guru yang berkualitas. Jika guru sudah berkualitas niscaya generasi penerus juga akan berkualitas. Bangsa indonesia seharusnya berguru pada Paulo Preire yang memiliki pemikiran revolusioner dibidang pendidikan. Menurut Paulo Preire dalam mendidik kita membentuk kesadaran kritis dimana beliau membagi 3 jenis kesadaran yaitu kesadaran mistis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Dan kita saat ini masih terjebak pada kondisi kesadaran mistis. Ketika kesadaran kritis sudah terbentuk secara otomatis akan menumbuhkan jiwa nasionalis yang kokoh dan generasi indonesia akan menjadi generasi yang kuat dan tahan banting maka cita-cita pendidikan bangsa indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945 akan terwujud.

0 comments: