Monday, May 23, 2016

8:18 AM
Sekitar 7 tahun yang lalu, waktu itu musim rambutan, kata pak alam (seorang Pembina pramuka di sekolah kami) rambutan dikebunnya yang berada di Bolly sudah bisa dipanen dan dia mengajak kami ke Bolly untuk menikmati buah yang tumbuh dari hasil jeripayahnya. Maka berangkatlah kami, saat itu kami ada 5 orng, saya, fat, im, rudhi asdar dan muh. Yusuf. Kami berangkat menuju lokasi sekitar jam 5 lewat. Kata pak Alam dia akan menyusul karena ada urusan yangg harus diselesaikan di kota terlebih dahulu. Butuh waktu hampir dua jam menempuh perjalanan menuju Bolly karena beberapa jalan yang jalan yang dilewati menuju kesana sudah rusak.  Adzan magrib berkumandang disaat kami sudah berada didaerah ajampulu kalau tidak salah desa setelah desa laju, kami singgah shalat magrib di mesjid yg letaknya sangat unik diantara dua jalan dipertigaan yang membentuk huruf Y.

Kami punya cerita lucu disitu, aktor utamanya muh. Yusuf. Ceritanya begini, setelah berwudhu dengan air seadanya kami pun bersiap untuk menunaikan shalat magrib, kondisi masjid tersebut sebenarnya tidak cukup layak untuk ditempati beribadah, lantai yang berdebu karena tidak pernah dikunjungi oleh jamaah, tapi untungnya tidak terkunci, balok berserakan dimana-mana, kami merasa cukup prihatin dengan kondisi masjid tersebut tapi apa daya, saat itu kami hanyalah remaja yang kebetulan singgah ditempat tersebut, yang tidak punya kemampuan lebih. Kalau tidak salah ingat rudhi yang melantunkan adzan saat itu, yang bertindak sebagai imam Im. Adzan pun berkumandang, setelah selesai, suasana mulai tenang untuk menciptakan kondisi khusyuk. Im pun maju kedepan untuk menjadi imam shalat kami sebagaimana kesepakatan sebelumnya. Suasana pun menjadi lebih tenang, hanya suara2 hewan kecil terdengar dari luar masjid. Hal itu pun yang diperlihatkan oleh sang imam saat itu, baru kali ini kami akan melakukan sesuatu dan dilakukan dengan penuh penghayatan dan kesungguhan. 

Dengan tenang dan meyakinkan sang imam pun memulai shalat dengan membaca niat, suasananya pun bertambah sunyi dari sebelumnya, suara jangkrik mempertegas kesunyian mamam itu. Sang imam melakukan takbiratul ihram, kami yang menjadi makmun juga mulai membaca niat dan melakukan takbir mengikuti imam. Sementara pembacaan surah al fatihah berlangsung muh. Yusuf menyadari adanya kejanggalan pada dirinya saat menjalankan shalat, kamipun dibuat risih olehnya, Muh. Yusuf berbisik pada dirinya sendiri tapi bisikannya tidak membuat kami tidak mendengarnya.

“Astagfirullah, mati mi ja, pakai celana pendek’k ternyata, sah jhi shalat ku itu?” bisikan-bisikan kecil itu terus diulang-ulangi kepada dirinya sendiri, mungkin dengan maksud tidak ingin mengganggu kekhusyukan kami, tapi justru bisikan-bisikan kecil itu yang membuat suasana tenang itu hilang, saya mulai merasa terganggu dengan kondisi itu, tapi tidak dengan sang imam dia tetap pada kondisinya yang sudah hanyut dengan al fatihahnya dan kayaknya saat itu dia lupa kalau dibelakang ada makmum yang mengikutinya. Karena saya merasa cukup terganggu dengan suara itu, akhirnya aku ingin memastikan kalau memang dia pakai celana pendek, saya menoleh kesampingku dan agak tunduk melihat kaki si yusuf, dan benar “astagfirullah, apa kau fikir ucup, sampai-sampai lupa pakai celana panjang saat shalat” dalam hatiku, karena takut shalatku jadi tidak sah. Saya pun meneneruskan pandanganku kesebelah kanan yusuf, tanpa saya duga tiba-tiba pandanganku beradu pandangan dengan si Ivat, saya sudah mulai berfikir kalau shalatku sudah tidak sah, tapi yang menggelitik saya, ternyata ivat juga memiliki fikiran yang sama denganku. Saya kemudian memutuskan untuk kembali khusuk dalam menyelesaikan sisa rakaatku. Sebelum saya memalingkan tatapanku dari ivat spontan saya tersenyum kecil, dan ternyata itu membuat ivat tidak mampu menahan ketawanya, dan saya pun kelepasan karena sebenarnya dari tadi saya berusaha menahannya tapi kali saya tidak mampu lagi menahannya, rudhi yang saya kira cukup tangguh karena dari tadi saya perhatikan dia tetap tenang namun juga tak mampu menahan ketawanya. Im sang imam juga ternyata menyadari apa yang terjadi dibelakang tapi dia tau posisinya kalau saat itu dia sebagai imam jadi dia harus tetap tampil elegant, dan saat itu juga lantunan al fatihanya berhenti dan berubah jadi suara tertawa. Yusuf sudah menghilang dari tempatnya entah kemana. Suasan tenang berubah menjadi suasana hiruk-pikuk, butuh beberapa saat untuk menenangkan kembali suasana. Setelah suasana mulai tenang kamipun menunaikan shalat magrib dari awal. (Maafkan kami yang dulu Tuhan).

 Setelah shalat magrib kami melanjutkan perjalanan, sampai jam 10 malam kami terus berputar-putar di sekitar kebun tebu, kami tak menemukan jalan yang menuju kebun pak alam, dari situ kami memutuskan kembali ke mesjid untuk menunggu pak alam. Sampai di mesjid kami pun menelpon pak alam, dan ternyata pak alam tidak bisa berangkat ke Bolly malam itu, karena anaknya, adeknya agung masuk RS, kata dokter dia divonis gejala DBD. Setelah berdiskusi kami pun memutuskan untuk menginap di mesjid itu. Melihat kondisi masjid itu untuk shalat saja tidak layak apalagi untuk menginap, ternyata im punya ide lain, dulu waktu dia pergi keBolly bersama pa alam dia sempat singgah dirumah salah satu karib pak alam dan kebetulan rumahnya didekat mesjid tersebut, im ingin kalau kami menginap dirumah tersebut, itu ide yang paling gemilang malam itu.

Maka disusunlah rencana, kami pura-pura datang kerumah tersebut untuk meminta izin menginap dimesjid, atpi bukan itu tujuan kami, kami berharap ditawari menginap dirumahnya, dan yang pasti kami menjual nama pak Alam malam itu, (maafkan kami yang dulu pa' Alam). Alhasil rencana kami berhasil, dia menawarkan kami untuk menginap dirumahnya, dapat bonus disuguhkan makan malam lagi. Kemujuran berpihak kepada kami malam itu. Keesokan harinya, kamipun pamit untuk melanjutkan perjalanan, sampailah kami di Bolly. Tujuan awal kami ke Bolly untuk makan rambutan ternyata sia-sia, rambutannya sudah habis, mungkin dipanen duluan oleh pengembala sapi yang biasa melintas didaerah tersebut. Kami tidak ingin pulang dengan sia-sia, maka kami putuskan untuk menangkap ikan gurame di empang yang hampir setahun dirawat oleh pak Alam dengan penuh kesabaran. Tentu saja tanpa seizin beliau. (Sekali lagi maafkan kami yang dulu pak Alam).

Beberapa hari yang lalu waktu reunian diacara wisudanya lani, saya sempat berbicara dengan ibu rohani via telpon, dan dia mengingatkan kembali tentang kisah itu, katanya sejarah yang kami tulis di Bolly ternyata menyimpan prasasti, sisa ikan yang kami tangkap waktu itu masih ada yang bertahan satu ekor sampai hari ini, saya sudah bisa membayangkan bagaimna besarnya ikan tersebut. Saya merasa harus menyelesaikan misiku, saya ingin bertemu ikan tersebut dan mengisahkan pengalaman saya waktu saya lahap saudara-saudaranya tanpa izin dari pemiliknya.

Makassar, 22 Mei 2016


0 comments: