Sekitar 7 tahun yang lalu, waktu
itu musim rambutan, kata pak alam (seorang Pembina pramuka di sekolah kami)
rambutan dikebunnya yang berada di Bolly sudah bisa dipanen dan dia mengajak
kami ke Bolly untuk menikmati buah yang tumbuh dari hasil jeripayahnya. Maka
berangkatlah kami, saat itu kami ada 5 orng, saya, fat, im, rudhi asdar dan
muh. Yusuf. Kami berangkat menuju lokasi sekitar jam 5 lewat. Kata pak Alam dia
akan menyusul karena ada urusan yangg harus diselesaikan di kota terlebih
dahulu. Butuh waktu hampir dua jam menempuh perjalanan menuju Bolly karena
beberapa jalan yang jalan yang dilewati menuju kesana sudah rusak. Adzan magrib berkumandang disaat kami sudah
berada didaerah ajampulu kalau tidak salah desa setelah desa laju, kami singgah
shalat magrib di mesjid yg letaknya sangat unik diantara dua jalan dipertigaan
yang membentuk huruf Y.
Kami punya cerita lucu disitu,
aktor utamanya muh. Yusuf. Ceritanya begini, setelah berwudhu dengan air
seadanya kami pun bersiap untuk menunaikan shalat magrib, kondisi masjid
tersebut sebenarnya tidak cukup layak untuk ditempati beribadah, lantai yang
berdebu karena tidak pernah dikunjungi oleh jamaah, tapi untungnya tidak
terkunci, balok berserakan dimana-mana, kami merasa cukup prihatin dengan
kondisi masjid tersebut tapi apa daya, saat itu kami hanyalah remaja yang
kebetulan singgah ditempat tersebut, yang tidak punya kemampuan lebih. Kalau
tidak salah ingat rudhi yang melantunkan adzan saat itu, yang bertindak sebagai
imam Im. Adzan pun berkumandang, setelah selesai, suasana mulai tenang untuk
menciptakan kondisi khusyuk. Im pun maju kedepan untuk menjadi imam shalat kami
sebagaimana kesepakatan sebelumnya. Suasana pun menjadi lebih tenang, hanya
suara2 hewan kecil terdengar dari luar masjid. Hal itu pun yang diperlihatkan
oleh sang imam saat itu, baru kali ini kami akan melakukan sesuatu dan
dilakukan dengan penuh penghayatan dan kesungguhan.
Dengan tenang dan
meyakinkan sang imam pun memulai shalat dengan membaca niat, suasananya pun
bertambah sunyi dari sebelumnya, suara jangkrik mempertegas kesunyian mamam
itu. Sang imam melakukan takbiratul ihram, kami yang menjadi makmun juga mulai
membaca niat dan melakukan takbir mengikuti imam. Sementara pembacaan surah al
fatihah berlangsung muh. Yusuf menyadari adanya kejanggalan pada dirinya saat
menjalankan shalat, kamipun dibuat risih olehnya, Muh. Yusuf berbisik pada
dirinya sendiri tapi bisikannya tidak membuat kami tidak mendengarnya.
“Astagfirullah, mati mi ja, pakai
celana pendek’k ternyata, sah jhi shalat ku itu?” bisikan-bisikan kecil itu
terus diulang-ulangi kepada dirinya sendiri, mungkin dengan maksud tidak ingin
mengganggu kekhusyukan kami, tapi justru bisikan-bisikan kecil itu yang membuat
suasana tenang itu hilang, saya mulai merasa terganggu dengan kondisi itu, tapi
tidak dengan sang imam dia tetap pada kondisinya yang sudah hanyut dengan al
fatihahnya dan kayaknya saat itu dia lupa kalau dibelakang ada makmum yang
mengikutinya. Karena saya merasa cukup terganggu dengan suara itu, akhirnya aku
ingin memastikan kalau memang dia pakai celana pendek, saya menoleh kesampingku
dan agak tunduk melihat kaki si yusuf, dan benar “astagfirullah, apa kau fikir
ucup, sampai-sampai lupa pakai celana panjang saat shalat” dalam hatiku, karena
takut shalatku jadi tidak sah. Saya pun meneneruskan pandanganku kesebelah
kanan yusuf, tanpa saya duga tiba-tiba pandanganku beradu pandangan dengan si
Ivat, saya sudah mulai berfikir kalau shalatku sudah tidak sah, tapi yang
menggelitik saya, ternyata ivat juga memiliki fikiran yang sama denganku. Saya
kemudian memutuskan untuk kembali khusuk dalam menyelesaikan sisa rakaatku.
Sebelum saya memalingkan tatapanku dari ivat spontan saya tersenyum kecil, dan
ternyata itu membuat ivat tidak mampu menahan ketawanya, dan saya pun kelepasan
karena sebenarnya dari tadi saya berusaha menahannya tapi kali saya tidak mampu
lagi menahannya, rudhi yang saya kira cukup tangguh karena dari tadi saya
perhatikan dia tetap tenang namun juga tak mampu menahan ketawanya. Im sang
imam juga ternyata menyadari apa yang terjadi dibelakang tapi dia tau posisinya
kalau saat itu dia sebagai imam jadi dia harus tetap tampil elegant, dan saat
itu juga lantunan al fatihanya berhenti dan berubah jadi suara tertawa. Yusuf
sudah menghilang dari tempatnya entah kemana. Suasan tenang berubah menjadi
suasana hiruk-pikuk, butuh beberapa saat untuk menenangkan kembali suasana.
Setelah suasana mulai tenang kamipun menunaikan shalat magrib dari awal.
(Maafkan kami yang dulu Tuhan).
Setelah shalat magrib kami melanjutkan perjalanan,
sampai jam 10 malam kami terus berputar-putar di sekitar kebun tebu, kami tak
menemukan jalan yang menuju kebun pak alam, dari situ kami memutuskan kembali
ke mesjid untuk menunggu pak alam. Sampai di mesjid kami pun menelpon pak alam,
dan ternyata pak alam tidak bisa berangkat ke Bolly malam itu, karena anaknya,
adeknya agung masuk RS, kata dokter dia divonis gejala DBD. Setelah berdiskusi
kami pun memutuskan untuk menginap di mesjid itu. Melihat kondisi masjid itu
untuk shalat saja tidak layak apalagi untuk menginap, ternyata im punya ide
lain, dulu waktu dia pergi keBolly bersama pa alam dia sempat singgah dirumah
salah satu karib pak alam dan kebetulan rumahnya didekat mesjid tersebut, im
ingin kalau kami menginap dirumah tersebut, itu ide yang paling gemilang malam
itu.
Maka disusunlah rencana, kami
pura-pura datang kerumah tersebut untuk meminta izin menginap dimesjid, atpi
bukan itu tujuan kami, kami berharap ditawari menginap dirumahnya, dan yang
pasti kami menjual nama pak Alam malam itu, (maafkan kami yang dulu pa' Alam).
Alhasil rencana kami berhasil, dia menawarkan kami untuk menginap dirumahnya,
dapat bonus disuguhkan makan malam lagi. Kemujuran berpihak kepada kami malam
itu. Keesokan harinya, kamipun pamit untuk melanjutkan perjalanan, sampailah
kami di Bolly. Tujuan awal kami ke Bolly untuk makan rambutan ternyata sia-sia,
rambutannya sudah habis, mungkin dipanen duluan oleh pengembala sapi yang biasa
melintas didaerah tersebut. Kami tidak ingin pulang dengan sia-sia, maka kami
putuskan untuk menangkap ikan gurame di empang yang hampir setahun dirawat oleh
pak Alam dengan penuh kesabaran. Tentu saja tanpa seizin beliau. (Sekali lagi
maafkan kami yang dulu pak Alam).
Beberapa hari yang lalu waktu
reunian diacara wisudanya lani, saya sempat berbicara dengan ibu rohani via
telpon, dan dia mengingatkan kembali tentang kisah itu, katanya sejarah yang
kami tulis di Bolly ternyata menyimpan prasasti, sisa ikan yang kami tangkap
waktu itu masih ada yang bertahan satu ekor sampai hari ini, saya sudah bisa
membayangkan bagaimna besarnya ikan tersebut. Saya merasa harus menyelesaikan
misiku, saya ingin bertemu ikan tersebut dan mengisahkan pengalaman saya waktu
saya lahap saudara-saudaranya tanpa izin dari pemiliknya.
Makassar, 22
Mei 2016
0 comments:
Post a Comment