Wednesday, June 15, 2016

7:09 AM
Sidang isbat yang dilakukan oleh kementerian agama berakhir pada keputusan bahwa tanggal 06 Juni 2016 ditetapkan sebagai awal ramadhan di Indonesia, sebenarnya saya berharapnya awal ramadhan itu tanggal 07, agar saya bisa bangun sahur pertama bersama keluarga. Karena beberapa hal saya selalu menunda kepulanganku hingga saya terpaksa sahur pertama seperti tahun-tahun sebelumnya. Bersama orang-orang yang sebenarnya juga keluarga sih, tapi keluarga dari jenis lain, bukan keluarga biologis. Bagi sebagian masyarakat bugis, berkumpul bersama keluarga ketika menyambut ramadhan sudah menjadi tradisi. Entah tradisi ini sudah ada sejak kapan, sangat jarang literature yang bisa kita temukan terkait hal itu, mengingat bahwa masyarakat bugis Makassar tidak terlalu dekat dengan budaya literasi, mereka lebih dekat dengan bundaya penutur. Tapi yang pasti tradisi ini dilatarbelakangi oleh budaya Massompe (merantau) yang sangat kental dalam tradisi orang-orang bugis. Orang-orang yang pergi merantau berusaha untuk kembali bersama keluarga besarnya untuk mengawali masuknya bulan ramadhan.

Saya baru bisa berkumpul dengan keluarga sederhanaku dikampung disaat buka pertama, setelah hampir satu tahun saya baru kembali, baru kali ini memang saya meninggalkan mereka hampir satu tahun. Jika hanya diperhatikan sekilas tidak banyak yang berubah dikampung itu, hanya beberapa kultur sosial pemuda yang mulai dilupakan. Kampung ini awal saya tinggalkan memiliki kesan tersendiri ketika memasuki bulan ramadhan, bukan hanya untuk pemuda tapi semua kalangan merasakan hal yang sama. Berbeda dengan sekarang, bulan ramadhan tidak jauh berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya.

Saya sempat berfikir apa gerangan yang membuat kondisi lima tahun silam begitu cepat bergeser. Jembatan bambu yang dulunya tiap tahun diremajakan, sekarang sudah masuk tahun kedua tapi kondisinya semakin buruk. Kata bapak, warga saat ini sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, jadi tidak ada lagi waktu untuk bergotong royong. Kata-kata itu begitu membekas dipikiranku, ingatanku langsung terbawa kemasa lalu waktu saya masih anak-anak. Saya ingat sekali waktu itu dimarahi sama bapak tetanggaku karena mencoba mengambil beberapa telur diatas songkolo hitam yang sementara dihidangkan. Alasannya simple katanya tunggu dulu sampai selesai ritual, kamu bisa ambil sesukamu. Kalau belum selesai, nanti yang punya hak marah karena kamu mengambil haknya.

Syukuran seperti ini setiap tahun dilakukan dikampungku dikala jembatan bambu yang saya ceritakan tadi selesai diperbaiki dan biasanya perbaikan dilakukan menjelang panen raya. Jadi syukuran dilakukan untuk menyambut panen raya sekaligus pengesahan atas selesainya renofasi jembatan bambu.

Kembali kekisah ramadhan dikampungku, suasana ramadhan dikampungku sangat kental dengan suara-suara petasan setelah berbuka, suara-suara gendang saat sahur, pos ronda kembali terisi 24 jam tanpa sibuk mengatur jadwal, dengan otomatis shift jaga terisi dengan sendirinya. Ketika ramadhan selesai pos ronda pun kembali kosong.

Perubahan itu terjadi begitu dinamis, hampir semua pemuda dikampungku tersebut tidak menyadari perubahan tersebut. Saya menyadadarinya mungkin karena saya meninggalkan kampong ini terlalu lama, jadi ketika saya kembali saya masih membayangkan hal-hal yang aku kerjakan sebelum saya meninggalkan tempat ini. Tapi toh ternyata fakta sudah menampilkan yang berbeda. Tidak saya temukan lagi permainan rakyak yang sering saya mainkan bersama kawan-kawan sebaya saya waktu masih anak-anak. Begitupun kesibukan-kesibukan yang sengaja kami adakan jika bulan puasa tiba. Permainan rakyat bukan hanya tentang kesenangan, kebersamaan, tapi ada pesan yang disampaikan melalui permainan itu yang perannya tidak bisa digantikan oleh teknologi secanggih apapun itu.
Ini bukan persoalan modernisasi, bukan soal peradaban, lebih karena ketidaksiapan menghadapi perubahan zaman, terlalu latah menanggapi arus globalisasi. Membuat kita lupa kalau selama ini kita mulai melupakan nilai-nilai luhur desa ini yang telah bertahan begitu lama dan diwariskan turun-temurun dari generasi kegenerasi. Kaum muda sekalian Jangan sampai generasimu menjadi generasi yang memutus rantai warisanmu.

0 comments: