Sidang isbat yang dilakukan oleh kementerian agama berakhir
pada keputusan bahwa tanggal 06 Juni 2016 ditetapkan sebagai awal ramadhan di
Indonesia, sebenarnya saya berharapnya awal ramadhan itu tanggal 07, agar saya
bisa bangun sahur pertama bersama keluarga. Karena beberapa hal saya selalu
menunda kepulanganku hingga saya terpaksa sahur pertama seperti tahun-tahun
sebelumnya. Bersama orang-orang yang sebenarnya juga keluarga sih, tapi
keluarga dari jenis lain, bukan keluarga biologis. Bagi sebagian masyarakat
bugis, berkumpul bersama keluarga ketika menyambut ramadhan sudah menjadi
tradisi. Entah tradisi ini sudah ada sejak kapan, sangat jarang
literature yang bisa kita temukan terkait hal itu, mengingat bahwa masyarakat
bugis Makassar tidak terlalu dekat dengan budaya literasi, mereka lebih dekat
dengan bundaya penutur. Tapi yang pasti tradisi ini dilatarbelakangi oleh
budaya Massompe (merantau) yang sangat kental dalam tradisi orang-orang bugis.
Orang-orang yang pergi merantau berusaha untuk kembali bersama keluarga
besarnya untuk mengawali masuknya bulan ramadhan.
Saya baru bisa berkumpul dengan keluarga sederhanaku
dikampung disaat buka pertama, setelah hampir satu tahun saya baru kembali,
baru kali ini memang saya meninggalkan mereka hampir satu tahun. Jika hanya
diperhatikan sekilas tidak banyak yang berubah dikampung itu, hanya beberapa
kultur sosial pemuda yang mulai dilupakan. Kampung ini awal saya tinggalkan
memiliki kesan tersendiri ketika memasuki bulan ramadhan, bukan hanya untuk
pemuda tapi semua kalangan merasakan hal yang sama. Berbeda dengan sekarang,
bulan ramadhan tidak jauh berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya.
Saya sempat berfikir apa gerangan yang membuat kondisi lima
tahun silam begitu cepat bergeser. Jembatan bambu yang dulunya tiap tahun
diremajakan, sekarang sudah masuk tahun kedua tapi kondisinya semakin buruk.
Kata bapak, warga saat ini sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing, jadi tidak ada lagi waktu untuk bergotong royong. Kata-kata itu
begitu membekas dipikiranku, ingatanku langsung terbawa kemasa lalu waktu saya
masih anak-anak. Saya ingat sekali waktu itu dimarahi sama bapak tetanggaku
karena mencoba mengambil beberapa telur diatas songkolo hitam yang sementara
dihidangkan. Alasannya simple katanya tunggu dulu sampai selesai ritual, kamu
bisa ambil sesukamu. Kalau belum selesai, nanti yang punya hak marah karena
kamu mengambil haknya.
Syukuran seperti ini setiap tahun dilakukan dikampungku
dikala jembatan bambu yang saya ceritakan tadi selesai diperbaiki dan biasanya
perbaikan dilakukan menjelang panen raya. Jadi syukuran dilakukan untuk
menyambut panen raya sekaligus pengesahan atas selesainya renofasi jembatan
bambu.
Kembali kekisah ramadhan dikampungku, suasana ramadhan
dikampungku sangat kental dengan suara-suara petasan setelah berbuka,
suara-suara gendang saat sahur, pos ronda kembali terisi 24 jam tanpa sibuk
mengatur jadwal, dengan otomatis shift jaga terisi dengan sendirinya. Ketika
ramadhan selesai pos ronda pun kembali kosong.
Perubahan itu terjadi begitu dinamis, hampir semua pemuda
dikampungku tersebut tidak menyadari perubahan tersebut. Saya menyadadarinya
mungkin karena saya meninggalkan kampong ini terlalu lama, jadi ketika saya
kembali saya masih membayangkan hal-hal yang aku kerjakan sebelum saya
meninggalkan tempat ini. Tapi toh ternyata fakta sudah menampilkan yang
berbeda. Tidak saya temukan lagi permainan rakyak yang sering saya mainkan
bersama kawan-kawan sebaya saya waktu masih anak-anak. Begitupun
kesibukan-kesibukan yang sengaja kami adakan jika bulan puasa tiba. Permainan
rakyat bukan hanya tentang kesenangan, kebersamaan, tapi ada pesan yang
disampaikan melalui permainan itu yang perannya tidak bisa digantikan oleh
teknologi secanggih apapun itu.
Ini bukan persoalan modernisasi, bukan soal
peradaban, lebih karena ketidaksiapan menghadapi perubahan zaman, terlalu latah
menanggapi arus globalisasi. Membuat kita lupa kalau selama ini kita mulai
melupakan nilai-nilai luhur desa ini yang telah bertahan begitu lama dan
diwariskan turun-temurun dari generasi kegenerasi. Kaum muda sekalian Jangan
sampai generasimu menjadi generasi yang memutus rantai warisanmu.
0 comments:
Post a Comment