Pagi itu aku terbangun dari tidur lelapku, tuntutan tugas
kantor mengharuskan aku bangun lebih awal dari sebelumnya. Bahkan lebih awal
dari kicauan burung kutilang apalagi sapaan sang mentari. Hari berganti hari
kulewati dan aku merasa sudah terbiasa membangunkan burung-burung, dan
mendahului kehadiran matahari. Awalnya aku merasa biasa dengan hal ini itu.
Tiba-tiba saja semua berubah setelah tadi pagi aku menumpahkan segelas kopi
yang belum sempat aku hidangkan. Aku memang tinggal sendiri diperantauan, aku
berusaha menghemat pengeluaranku selama diperantauan dengan menyewa kamar kost
sederhana, agar ada penghasilan yang bisa kusisihkan untuk keluargaku dikampung.
Dikamar tersebut hanya ada tv ukuran 12 inch, sebuah kasur dengan ukuran yang
pas untuk aku tiduri, ditambah dengan dispenser dan rice cooker, ada juga
kompor satu mata tersimpan rapi diatas meja pas disamping westafel, dari
penampilannya sudah menjelaskan bahwa kompor itu pasti merasa asing dengan
nyalanya sendiri. Tak ada mesin cuci dikamar itu, aku sudah terbiasa mencuci
pakaian dengan tenaga sebelas jari, juga terkadang aku membawanya ketempat
laundry.
Kurang tiga tahun usiaku genap tiga decade, sudah bukan usia
remaja, apalagi anak-anak. Tapi pemikiranku masih terlalu kekanak-kanakan yang
selalu memperdebatkan antara kehendak pribadi dengan keinginan untuk memberikan
yang terbaik untuk keluarga. Ditambah lagi kejadian tadi pagi disaat aku
menumpahkan kopi memperumit beban fikiranku. Kejadian itu benar-benar menyita
banyak energy untuk memikirkannya. Kopi yang aku tumpahkan tadi pagi membuatku
tersadar, membuatku tiba-tiba harus menyusun kembali kepingan-kepingan kenangan
selama diperantauan yang sempat aku hiraukan karena kesibukan.
Ternyata sudah hampir setahun ini setiap pagi aku menyeruput
kopi bikinanku sendiri sebelum berangkat kerja. Ternyata sudah hampir setahun
kondisi kamarku yang berantakan pada saat saya tinggalkan kondisinya tidak
berubah sampai aku pulang dari tempat kerjaku. Suara gaduh yang dihasilkan oleh
cangkir kopi disaat menghantam lantai yang memecah keheningan membuatku tersadar
bahwa betapa sepinya kehidupanku selama ini, aku ingin sekali tersenyum ketika
aku kembali kekamar kostku, tapi kepada siapa, hanya kamar yang berantakan
seperti disaat aku tinggalkan yang menyambutku. Ingin aku bercerita tentang
kisahku seharian dikantor, aku ingin cerita tentang seorang relasi kerjaku
dikantor yang menjengkelkan, bos yang seolah-olah bersikap tegas, aku ingin
sekali menceritakan karakter si Jana yang murah senyum tapi pendiam dan agak
tertutup yang menjadi satu-satunya orang yang bisa bekerja sama dengan
karakterku. Tapi kepada siapa?
Ingatanku kembali melompat mundur beberapa tahun sebelum
saya berada ditempat ini, disaat saya masih berstatus mahasiswa. Disaat itu aku
menyukai seorang gadis yang sebenarnya dia juga adik kelasku. Tapi perbedaan
pandangan membuat kami tidak bisa bersatu, dia menginginkan seorang lelaki yang
benar-benar bisa menjamin kehidupan masa depannya, sedangkan aku hanyalah
seorang lelaki sederhana yang hidup sederhana dan cita-citanyapun sederhana.
Aku tidak bisa menjadi lelaki yang diinginkan oleh dia, aku harus berusaha
melupakan dia, aku hanya akan semakin terpuruk jika terlalu memaksakan
kehendakku yang bertolak belakang dengan realitas. aku juga tidak ingin membuat
orang yang aku suka merasa terbebani dengan sikapku yang tidak bisa menerima
kenyataan.
Karena aku meyakini satu hal bahwa setiap harapan pasti
memiliki jawaban dari Tuhan. Dia pasti akan menemukan lelaki yang dia harapkan
dan pasti akan ada seorang wanita yang siap mendampingi diriku bersama kesederhanaan
dan cita-cita sederhanaku. Kapan wanita itu datang, biarkanlah itu menjadi
rahasia takdir yang dipersiapkan Tuhan untukku. Yang aku tahu aku harus
mempersiapkan diri untuk menyambut kapanpun takdir itu menghampiriku. Kopi yang
aku tumpahkan tadi pagi ternyata bukan untuk menambah beban fikiranku, tapi
untuk mengingatkanku dan seakan-akan dia berkata kepadaku bahwa “sudah saatnya
engkau harus menjemput takdirmu, diusiamu yang dua puluh tujuh tahun adalah
usia yang sudah cukup matang untuk menjemput takdirmu dan mengakhiri kesepianmu
agar tak ada lagi kopi yang tumpah dan cangkir yang pecah akibat kesendirianmu.”
0 comments:
Post a Comment