Wednesday, June 22, 2016

1:03 AM
Pagi itu aku terbangun dari tidur lelapku, tuntutan tugas kantor mengharuskan aku bangun lebih awal dari sebelumnya. Bahkan lebih awal dari kicauan burung kutilang apalagi sapaan sang mentari. Hari berganti hari kulewati dan aku merasa sudah terbiasa membangunkan burung-burung, dan mendahului kehadiran matahari. Awalnya aku merasa biasa dengan hal ini itu. Tiba-tiba saja semua berubah setelah tadi pagi aku menumpahkan segelas kopi yang belum sempat aku hidangkan. Aku memang tinggal sendiri diperantauan, aku berusaha menghemat pengeluaranku selama diperantauan dengan menyewa kamar kost sederhana, agar ada penghasilan yang bisa kusisihkan untuk keluargaku dikampung. Dikamar tersebut hanya ada tv ukuran 12 inch, sebuah kasur dengan ukuran yang pas untuk aku tiduri, ditambah dengan dispenser dan rice cooker, ada juga kompor satu mata tersimpan rapi diatas meja pas disamping westafel, dari penampilannya sudah menjelaskan bahwa kompor itu pasti merasa asing dengan nyalanya sendiri. Tak ada mesin cuci dikamar itu, aku sudah terbiasa mencuci pakaian dengan tenaga sebelas jari, juga terkadang aku membawanya ketempat laundry.

Kurang tiga tahun usiaku genap tiga decade, sudah bukan usia remaja, apalagi anak-anak. Tapi pemikiranku masih terlalu kekanak-kanakan yang selalu memperdebatkan antara kehendak pribadi dengan keinginan untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga. Ditambah lagi kejadian tadi pagi disaat aku menumpahkan kopi memperumit beban fikiranku. Kejadian itu benar-benar menyita banyak energy untuk memikirkannya. Kopi yang aku tumpahkan tadi pagi membuatku tersadar, membuatku tiba-tiba harus menyusun kembali kepingan-kepingan kenangan selama diperantauan yang sempat aku hiraukan karena kesibukan.

Ternyata sudah hampir setahun ini setiap pagi aku menyeruput kopi bikinanku sendiri sebelum berangkat kerja. Ternyata sudah hampir setahun kondisi kamarku yang berantakan pada saat saya tinggalkan kondisinya tidak berubah sampai aku pulang dari tempat kerjaku. Suara gaduh yang dihasilkan oleh cangkir kopi disaat menghantam lantai  yang memecah keheningan membuatku tersadar bahwa betapa sepinya kehidupanku selama ini, aku ingin sekali tersenyum ketika aku kembali kekamar kostku, tapi kepada siapa, hanya kamar yang berantakan seperti disaat aku tinggalkan yang menyambutku. Ingin aku bercerita tentang kisahku seharian dikantor, aku ingin cerita tentang seorang relasi kerjaku dikantor yang menjengkelkan, bos yang seolah-olah bersikap tegas, aku ingin sekali menceritakan karakter si Jana yang murah senyum tapi pendiam dan agak tertutup yang menjadi satu-satunya orang yang bisa bekerja sama dengan karakterku. Tapi kepada siapa?

Ingatanku kembali melompat mundur beberapa tahun sebelum saya berada ditempat ini, disaat saya masih berstatus mahasiswa. Disaat itu aku menyukai seorang gadis yang sebenarnya dia juga adik kelasku. Tapi perbedaan pandangan membuat kami tidak bisa bersatu, dia menginginkan seorang lelaki yang benar-benar bisa menjamin kehidupan masa depannya, sedangkan aku hanyalah seorang lelaki sederhana yang hidup sederhana dan cita-citanyapun sederhana. Aku tidak bisa menjadi lelaki yang diinginkan oleh dia, aku harus berusaha melupakan dia, aku hanya akan semakin terpuruk jika terlalu memaksakan kehendakku yang bertolak belakang dengan realitas. aku juga tidak ingin membuat orang yang aku suka merasa terbebani dengan sikapku yang tidak bisa menerima kenyataan.

Karena aku meyakini satu hal bahwa setiap harapan pasti memiliki jawaban dari Tuhan. Dia pasti akan menemukan lelaki yang dia harapkan dan pasti akan ada seorang wanita yang siap mendampingi diriku bersama kesederhanaan dan cita-cita sederhanaku. Kapan wanita itu datang, biarkanlah itu menjadi rahasia takdir yang dipersiapkan Tuhan untukku. Yang aku tahu aku harus mempersiapkan diri untuk menyambut kapanpun takdir itu menghampiriku. Kopi yang aku tumpahkan tadi pagi ternyata bukan untuk menambah beban fikiranku, tapi untuk mengingatkanku dan seakan-akan dia berkata kepadaku bahwa “sudah saatnya engkau harus menjemput takdirmu, diusiamu yang dua puluh tujuh tahun adalah usia yang sudah cukup matang untuk menjemput takdirmu dan mengakhiri kesepianmu agar tak ada lagi kopi yang tumpah dan cangkir yang pecah akibat kesendirianmu.”

0 comments: