Saturday, July 12, 2014

7:59 PM

Ilustrasi
Dimakassar anak mudah tidak pernah menjadi tua. Dengan kesadaran penuh mereka mengerti bahwa orde ketertiban hanyalah kerangkeng kelas yang memenjarakan anak-anak mudah. Mereka senantiasa bergemuruh, penuh semangat dan tiada henti memaki kekuasaan. Kampus-kampus masih milik anak mudah berlapis kelas, beragam latar belakang dan berjenis-jenis manusianya.
Itu sebabnya energi mereka terpelihara dengan baik, terkadang mereka melakukan latihan layaknya pasukan terlatih, dengan batu dan parang saling baku hantam sesamanya. Tidak usah panik, inilah anak mudah. Tanpa kelahi, mana mungkin palu mereka terlatih robohkan kekuasaan. Dengan kelahi, anak-anak mudah itu telah menjadi generasi bunga dengan cara mereka sendiri. Sebab mereka percaya kesantunan, senyuman, adat istiadat, jongkok kemayu adalah feodalisme teselubung ala pulau seberang sana. Dikaki Dewi Celebes sana, mereka mennolak untuk tertib. Sebab ketertiban hanyalah senda gurau penguasa mengatasi kepanikan.
Di Jakarta, jalanan bukan lagi milik anak mudah apalagi mahasiswa. Kampus-kampus mereka telah tehubung baik dengan industri televisi. Organisasi mahasiswa masih mengumpulkan massa , tetapi mereka tidak perlu lagi menyewa bus kota. Mereka masih mengenakan jas almamater tetapi tidak lagi menantang teriknya matahari. Mahasiswa-mahasiswa jakarta magang ditelevisi, menjadi massa yang senantiasa bergantian audens talkshowtelevisi. Di kampus UI, jumlah mobil mahasiswanya lebih banyak dibanding total mahasiswa miskin dikampus tersebut. Bagi anak-anak mami itu, gerakan sosial adalah ancaman untuk kemapanan rutinitas mereka. Bocah-bocah yang tidak pernah beranjak dewasa itudimanja oleh kampus. Mereka tidak prerlu diskusi macam-macam, cukup main futsal saja diwaktu senjang. Sebab disetiap fakultas tersedia lapangan futsal yang mungkin menjadi mimpi bagi mahasiswa dikampus-kampus daerah. Beginilah cara kampus melayani anak mami, dengan cara memaksa mereka tetap menjadi bocah-bocah mapan yang takut dengan jalanan. Hari ini 9 Desember, karnaval besar di Jakarta. Di panggung jalanan tidak tampak lagi anak-anak mudah dengan jaket almamater. Orang-orang mengatakan inilah kebangkitan kelas menengah melawan korupsi. Beginilah cara damai anak mudah menyampaikan sikap dan pendapat. Di tengah kerumunan massa, aktor-aktor kelas menengah ini dan tentu saja minus mahasiswa jakarta dipanggungnya, membacakan deklarasi. Mahasiswa jakarta terbiasa menjadi penonton sebab mereka biasa dibayar oleh televisi.  Tidsk punya inisiatif dalam aksi, sebab mereka percaya belum saatnya menjadi bagian dari kelas menengah tercerahkan. Sementara aktor-aktor menengah tidak bisa lagi dibilang mudah, terlalu banyak rekam jejak yang perlu dipertanyakan, berkeluarga sehingga tidak berani mengambil resiko apa-apa. Beginilah karnaval jalanan Jakarta, hanya pertunjukan televisi penuh sopan santun, tanpa gairah dimana peserta aksi sama takutnya dengan penguasa. Di Jakarta, penguasa dan penggugat dikalahkan oleh ketakutan mereka sendiri. Tetapi dimana istilah kelas menengah dan agen perubahan hanya milik mahasiswa, mereka menolak untuk takut. Disana demonstrasi tidak pernah berubanh menjadi karnaval. Tangan tidak boleh berhenti terkepal. Dan bilah aparat pengaman telah menyiapkan tameng dan tongkat, itu artinya jangan pernah bermimpi untuk pulang disiang bolong. Mudah menuding aksi mereka rusuh, tidak terkendali, anarkis dan segala macam tudingan lainnya. Tetapi bukankah memang demikian tabiat anak mudah, sedikit konyol dan penuh gairah. Dalam sistem politik dimana semua berpusat di Jakarta maka daerah-daerah bahkan sebesar Makassar tidak pernah diisi oleh elit politik hingga pelacur kelas tinggi. Itu sebabnya panggung mereka tidak memberi ruang untuk orang tua yang berusaha sok mudah. Jalanan milik mahasiswa dan anak mudah. Jaket-jaket almamater mereka tidak pernah wangi untuk acara televisi, mereka kumal dibakar terik matahari dan debu jalanan. Maka bila di Makassar sana, anak-anak mudah masih berkelahi melawan ketertiban sambil sesekali memungut batu sebagai senjata, dengan semua kekonyolan mereka itulah semudah-mudahnya anak mudah. Dikampus-kampus makassar ragam kelas sosial dan latar belakang mahasiswa masih terjaga. Kampus masih menjadi tempat yanga nyaman untuk menyampaikan gagasan dan bukan bemain futsal. Nyali mereka senantiasa tetap terpelihara sebab mereka tahu, jauh dari kekuasaan tidak satu kekuatan pun akan melindungi mereka. Diantara kegelisahan kita melihat mahsiswa-mahasiswa wangi dan centil yang berdandan menor mengendarai mobil orang tuanya. Ada asa ditimur sana Jakarata tetap saja akan menjadi pusat kekuasaan tetapi rasa-rasanya tidak akan lagi pernah menjadi pusat pelawanan mahasiswa. Matahari tebit dari timur, perlawanan mahasiswa memberi cahaya dari ufuk sana. Makassar adalah kiblat gerakan mahasiswa Indonesia. Selamat tinggal mahasiswa Jakarta.
Bye.s.ito   ̴December 9th,2011

0 comments: